Minggu, 19 Mei 2019

Pro Dan Kontra Poligami


Pernikahan memang sesuatu yang di damba-dambagakan bagi setiap orang, menikah dengan orang yang tepat dan juga dengan orang yang benar memang kita inginkan menjadi pasangan dalam hidup kita tentu akan membuat pernikahan kita tersa lebih indah,
Dengan ikrar  yang ingin menua bersama, saling mencintai satu sama lain, sudah merupakan hal yang lazim di ucapkan oleh kedua pasangan,
Pernikahan yang indah dan juga bahagia itu di bangun sendiri oleh insan yang menjadi tokoh atau pemeran dalam pernikahannya,
Menjadi seorang istri yang begitu di sayang oleh seorang suami sangat lah membahagiakan

Namun apa jadinya jika suatu pernikahan itu di campuri oleh orang ke tiga, dan istripun tidak lagi menjadi satu-satunya ratu untuk rajanya.


Fenomena ini lah yang terjadi saat ini praktek poligami yang sering dilakukan oleh para suami dan menghadirkan ratu-ratu lain dalam istana nya.
Jika sudah seperti ini apa mungkin kedamian dalam rumah tangga bisa di capai,..?
Dan bagaimana berpoligami menurut islam yang benar dan apa hukum nya berpoligami dalam pandangan islam.


MONOGAMI DAN POLIGAMI

Pengertian Monogami dan Poligami

Perkataan monogami berasal dari bahasa yunani mono dan gamein, yang artinya perkawinan hanya dengan satu istri,sedangkan perkataan poligami yang terdiri dari dua pokok kata, yaitu polu dan gamein.polu berarti banyak gamein berarti kawin, jadi poligami berarti perkawinan yang banyak.

Poligami adalah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.
Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami.
Poligami sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan. Hanya saja, istilah poligami lebih umum digunakan ditengah-tengah masyarakat.

Seperti dikemukakan oleh Sidi dan Gazalba, bahwa poligami ialah perkawinan antara seseorang laki-laki dan wanita lebih dari satu orang.
Lawanya poliandri, yaitu perkawinan antara seseorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri.
Tetapi, karena polgini banyak dilakukan. Terutama di Indonesia dan Negara-negara yang memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ini sama dengan poligami.

Perkawinan dalam islam pada dasarnya menganut sistem monogami, ya itu pernikahan yang hanya memilik satu pasangan hidup.


Poligami dari Masa ke Masa


Masalah poligami sama tuanya dengan sejarah peradaban dan kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum agama islam datang.
Poligami itu dilakukan oleh hampir seluruh suku bangsa dan agama yang ada di dunia, baik itu ditimur maupun di barat, tidak terkecuali oleh orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Bukti sejarah bahwa poligami sudah dilakukan dan berjalan lama sebelum kedatangan atau kelahiran islam antara lain:

>Nabi Yakub

>Nabi Daud, dan
            >Nabi Sulaiman mempunyai banyak istri.
            >Nabi Ibrahim juga mempunyai 2 orang istri yakni Hajar dan Sarah.

Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman, dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama Masehi. Poligami mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa istrinya.

Ahli piker Inggris Harbert Spenser di dalam bukunya
ilmu Masyarakat menjelaskan, sebelum islam datang wanita itu diperjual belikan atau digadaikan dan dipinjamkan hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.Pada 1650 M, Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan edaran tentang diperbolehkannya seseorang laki-laki mengumpulkan 2 orang istri. Surat edaran itu dikeluarkan karena berkurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus.


Kebanyakan umat terdahulu dan agama-agama sebelum islam memperbolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai berpuluh-puluhan wanita, bahkan ada yang sampai berates-ratus orang. Maka, setelah islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini di batasi dan dengan syarat-syarat tertentu terutama syarat keadilan.

Dengan ini jelas, poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum islam datang.
Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu maka islam melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasull membenahi dan mengadakan penataan terhadap tradisi atau adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang mempunyai nilai-nilai menjunjung tinggi martabat manusia, termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat manusia. Walaupun sebenarnya keadilan itu sangat sulit untuk dilaksanakan.


Hukum Poligami dalam Islam


Pada dasar nya berpoligami dibolehkan dalam islam dasar hokum tentnag poligami desebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا



dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.


Menurut Mahmud Syaltur, hokum poligami adalah Mubah.
Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika terhadap kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang khawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri 1 orang saja. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, yaitu penganiayaan terhadap para istri.

Muhammad Rasyid Ridho membolehkan poligami dalam keadaan memaksa atau darurat beliau mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain;
1.      Istri Mandul
2.      Istri mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya memberikan nafkah batin.
3.      Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa sehingga istrinya Haid beberapa hari saja dikhawatirkan dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.  


Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan,terlihat bahwa kebolehan berpoligami terkait erat dengan berbagai persyaratan tertentu dan faktor kondisi seseorang.
Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai Hukum positif yang berlaku umum bagi seluruh
Alasan yang dijadikan dasar oleh seseorang suami untuk melakukan poligami atau beristri lebih dari seorang adalah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat ( 2 ) undang-undang tersebut adalah
1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami untuk melakukan poligami sebagai mana disebut dalam pasal 5 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 adalah sebagai berikut
1.      Adanya persetujuan Istri/istri-istri.
2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
Kontroversi di Sekitar Poligami

Para ulama klasik dari kalangan mufasir maupun faqih berpendapat, berdasarkan
Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3 laki-laki muslim dapat menikahi 4 perempuan tafsir ini telah mendomonasi pandangan seluruh umat islam
tetapi, Muhammad Abduh ( 1849-1905 )
tidak sepakat dengan penafsiran itu.
Menurutnya diperbolehkannya poligami karena keaadaan memaksa pada awal islam muncul dan berkembang.
Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah.
Maka, sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu islam masih sedikit sekali pemeluknya dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk islam dan memengaruhi sanak saudaranya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antar suku yang mencegah peperangan dan konflik .

Kini keadaan telah berubah. Poligami papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan kebencian, dan pertenkaran para istri dan anak.
Efek psikologi bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk meras tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan didik dalam suasa kebencian karena konflik itu.
Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
Pada akhir tafsirnya Abduh menyatakan tidak diperbolehkan nya berpoligami karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dimiliki manusia.

Selanjutnya beliau menjelaskan 3 alasan tidak dibolehkannya poligami
Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil.
Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab allah sudah jelas mengatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nissa’ ayat 129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil.
Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk member nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Mereka tumbuh dalam kebencian pertengkaran sebab ibu mereka bertengka, baik dengan suami maupun dengan istri yang lain.
Pada akhir patwanya ia meminta para hakim, ulama, dan pemerintah melarang poligami Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang bisa berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tidak dapat dijadikan patokan. Sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. Abdul membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Ulama asal mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami adalah praktik masyarakat arab sebelum kedatangan islam.
Dr. Najman Yasin dalam kajian mutakhirnya tentang perempuan pada abad pertama hijrah (Abad ke 7 M) menjelaskan, memang budaya arab para islam mengenal institusi pernikahan tak beradap dimana laki-laki dan perempuan mempraktikan poliandri dan poligami.

Kedua, Pernikahan istibda,yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak.jika istri hamil oleh lelaki itu dan dan lelaki itu suka,lelaki itu boleh menikahinya.jika tidak,jika tidak perempuan itu kembali lagi kepada suaminya.pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan keturunan.
 

Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu  (antara 2 hingga 9 orang) setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan bapak anak itu.

Keempat, pernikahan poliandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapapun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul dan sianak ditaruh disebuah tempat lalu akan berjalan mengarah kepada salah seorang diantara mereka, dan orang yang dituju itulah bapaknya.

Kelima, pernikahan warisan,artinya, anak laki-laki mendapatkan warisan dari bapaknya, yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal

Keenam, pernikahan paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapatkan uang dan makanan. Prnikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu kembali lagi krepada suaminya

Ketujuh, pernikahan tukar guling, yaitu suami istri mengadkan saling tukar pasangan .Praktik pernikahan Arab pra islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafah Ar-Rasyidhin.

Poligami yang termasuk dalam surat An-Nisa’ ayat 3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliyah sebagaimana disebutkan diatas. Oleh karena itu, tepat kiranya Thaha Husain menyatakan dalam bukunya fi syir al-jahil bahwa fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan, dan menyedihkan, dan Al-Qur’an merekamnya melalui teks-teksnya dan masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al-Qur’an merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.
Artinya poligami adalah hal yang biasa dan lazim dilakukan dilakukan ditengah-tengah masyarakat umum.
Posisi Indonesia dalam hal ini dapat dilihat dengan diberlakukanya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. Undang-undang ini diperkuat dengan keluarnya UU No.07 tahun 1989 tentang pengadilan agama, khususnya pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi hukum islam semakin memperjelas kebolehan pelaksanaan poligami di Indonesia. Walaupun persyaratan untuk poligami demikian ketat realitasnya adalah lain sekarang, ditengah banyaknya orang yang melakukuan poligami, yang menjadi masalah bukan lagi sistem mana yang paling baik, Monogami atau poligami, karena pada umumnya akan mengatakan monogamilah yang lebiih baik. Persoalanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang menuntut terjadinya poligami manakah yang akan dipilih apakah menerima dan menjalankan poligami secara resmi, atau dengan memaksakan monogamy secara hokum tetapi berpraktik poligami, atau malah menolak poligami sama sekali tetapi melkukannya affair secara terselubung.Alasan poligami seringkali dikaitkan dengan perzinahan dan perselingkuhan. Orang yang melakukan poligami beralasan karena takut terjerumus kepada perzinahan.

Agus Mustofa merasa heran kenapa alasan poligami selalu dikaitkan dengan perzinahan dan perselingkuhan padahal didalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat yang mengaitkan bolehnya melakukan poligami disebabkan alasan-alasan takut terjadinya perzinahan dan Perselingkuhan.

Agaknya, telah terjadi reduksi pemahaman tentang makna poligami dalam konsep islam. Dari alasan-alasan yang bersifat sosial politik menjadi alasan-alasan yang bersifat seksualitas. Menurut Agus, hal ini harus diluruskan karena telah memunculkan persepsi dan pandangan yang sangat rancu, keliru, dan menyesatkan umat.
Menurut pengamatan Agus, dari sekian ‘ayat syahwat’, tidak ditemukannya terkaitannya terhadap poligami. demikian pula sebaiknya, ayat-ayat poligami tidak dikaitkan dengan ayat-ayat syahwat. kata syahwat didalam Al-Qur’an hanya ditemukan 2 kali. Dan menariknya
digunakan untuk mengambarkan dorongan yang seksual yang menyimpang, seperti homosek.

Firman Allah surat An-Naml Surah 27 ayat 55      

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)".

Kemudian firman Allah Swt. Dalam surat Al-A’raf(7) ayat 81

  إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.

Nabi dan Monogami


Dalam hadis yang diriwayatkan bukhari,Muslim,Tirmidzi,dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad Saw. Marah ketika beliau mendegar putrinya Fatimah akan dipoligami oleh Ali bin Abu Thalib.
Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato, “ keluarga Bani Hasyim bin Al-Mukhira telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abu Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi, saya tidak mengizinka sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya terlebih dahulu”.
Kemudian Nabi Muhammad Saw melanjutkan,
“Fatimah adalah bagian dariku, apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga.”
Akhirnya, Ali
  bin Abu Thalib tetap Monogami hingga Fatimah wafat.
Timbul pertanyaan bagaimana kenyataan Nabi sendiri Berpoligami..?

Bahkan, ini sering dijadikan alasan seorang lelaki untuk berpoligami, yaitu
ittibah’ (mengikuti ) jejak Rasullah Saw.
Kalau kita menyimak perkawinan beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya Nabi Monogami selama sebagian besar masa perkawinannya.
Beliau menikah selama 38
th dan 28th di antaranya dihabiskan hanya dengan khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri.
Beliau sangat mencintai khadijah dan setia kepadanya sehingga
  tahun khadijah wafat disebut ‘am al-hazn (tahun berduka).  2 tahun setelah khadijah wafat,baru nabi berpoligami.
Dari sekian istri, hanya Aisyah yang gadis.



 
Kekerasan Psikologis
Poligami menyimpan banyak persoalan. Salah satunya membisukan suara hati perempuan selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki. Poligami membuat mereka di khianati dan direndahkan, serta menjadikan mereka merasa takberdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan integritas demi menopang suami dalam meniti tangga menuju status sosial dan kedudukan yang lebih tinggi, tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk mengembanagkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini, setelah memberikan bakti kepada suami dan pada usia senja, dengan ketrgantungan emosional dan financial terhadap suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu. Banyak perempuan memilih bercerai daripada di poligami. tetapi, lebih bnayak yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan,seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, ketergantungan financial,dan sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa seperti cemburu.

Problem Penafsiran
Perbedaan penafsiran ayat poligami yaitu Al-Qur’an surat An-NIsa’ ayat 3 sudah banyak diwacanakan. Inti utama perbedaan penafsiran adalah pandangan terhadap keabsolutan instuisi poligami. ayat poligami turun setelah perang Uhud, ketika banyak sahabat banyak wafat dimedan perang. Ayat ini memugkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka dan hartanya dengan penuh keadilan. Ayat selanjutnya, yaitu ayat 129, secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Ayat ini dapat disimpulkan, islam pada dasarnya menganut Monogami. Namun pendukung poligami berpendapat sebaliknya. Karena tidak mungkin seorang laki-laki berlaku adil lahiriah dan batiniah kepada istri, maka sikap adil itu hanya sebatas kemampuan mereka sebagai manusia, salah satu misi utama islam adalah membebaskan mereka yang tertindas dan membawakan keadilan bagi mereka. Revolusi yang dibawa islam adalah peningkatan status perempuan menjadi sepenuhnya setara dengan laki-laki, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai wakilnya dibumi.
Pasal 55 sampai pasal 59 kompilasi hokum islam(KHI) menetapkan syarat ketat bagi laki-laki yang berpoligami. Pasal 55 ayat 2, misalnya, menyebutkan lelaki yang akan poligami harus adil kepada istri dan anaknya. Sedangkan pada ayat 3 menyebutkan jika tidak adil, orang tersebut dilarang berpoligami. Pasal 57 menyebutkan tiga kondisi yang memperbolehkan lelaki berpoligami: istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri atau sakit yang tak dapat disembuhkan atau mandul.

Maqashid Al-Syari’ah

Tidak adanya larangan yang tegas terhadap poligami, karena ulama dan umat islam berpatokan kepada Al-Qur’an surat An-Nissa’ ayat 3 yang mengisyaratkan kebolehan poligami. semua hukum islam mempunyai tujuan ( Maqashid Al-Syari’at) menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama hukum islam.
Oleh karena itu, Alal Al-Fasih, ulama pembaru dan tokoh Nasionalisme Maroko dalam Maqaashid Al-Syari’at Al-Islamiat Wa Makariniha, mengajukan tiga alasan mengapa poligami harus dilarang tegas.
>Pertama
mencegah akibat buruk oleh perorangan untuk mencegah akibat buruk yang leih besar. Artinya, kemaslahatn umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Dampak negative yang besar itu adalah merugikan citra islam jika islam berbicara peningkata derajat wanita, itu tidak akan tercapai dengan adanya poligami.

>Kedua,
mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan dari pada menarik manfaat.

>Ketiga,
perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan kemaslahatan nya.

Pada masa Nabi, dibolehkan nya poligami hingga 4 untuk melindungi anak yatim piatu.
Jika keadaan perempuan kini lebih baik, yaitu sederajat dengan pria dan harta gadis yatim piatu bisa diatur lembaga keuangan professional, konsekuensinya logisnya poligami tidak boleh.








Tidak ada komentar: