Kita ketahui bahwa kita berkehidupan dengan menggunakan bahasa.
Berbahasa adalah suatu kegiatan yang dilakukan selama kita bangun, bahkan
juga kadang-kadang waktu kita tidur atau mimpi. Kita menganggap berbahasa
itu sebagai sesuatu yang normal, bahkan alamiah seperti bernapas dan kita tidak
memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan keadaan kita andaikan tidak
memiliki bahasa dan kita tidak melakukan tindakan berbahasa, barangkali
identitas kita sebagai ‘genus manusia’ (homo sapiens) akan hilang. Kiranya tidak
terbayangkan adanya ‘kemanusiaan’ kita tanpa bahasa, tanpa berbahasa. Yang
paling membedakan kita dari segala makhluk yang lain ialah bahwa kita
mempunyai bahasa.
Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat
(atau makhluk sosial). Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan
dikembangkan dengan bahasa,
Lindgren (1972) menyebut bahasa itu sebagai ‘perekat masyarakat’.
Broom dan Selznik (1973) menyebutnya sebagai ‘faktor penentu dalam penciptaan masyarakat manusia’.
Nababan (1984:38) menyatakan bahwa bahasa sebagai pengembang budaya dalam kaitan fungsi bahasa itu sendiri.
Hakikat Bahasa
Tidak ada manusia tanpa bahasa; dan juga tidak ada bahasa tanpa manusia. Dalam kebiasaan bertutur setiap hari istilah ‘bahasa’ juga diterapkan pada sarana-sarana komunikasi yang dikuasai oleh binatang, namun ada perbedaan besar, bukan hanya secara kuantitatif melainkan juga secara kualitatif antara sistem komunikasi hewani dan manusiawi.
Karena itu dibenarkanlah istilah ‘bahasa’ untuk bahasa manusiawi; dan juga dibenarkan untuk saling membandingkan komunikasi dan hewani dalam rangka satu ilmu yang lebih umum yang menekuni segala bentuk yang mungkin berupa penyampaian tanda. Ilmu tersebut dewasa ini lazim disebut semiotik (ilmu tanda). Dari hal-hal tersebut diperoleh kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu sifat yang paling khas bagi manusia. Hal ini diungkapkan dalam definisi lama bagi manusia, yaitu animaloquax (hewan berbicara). Bahasa yang sejak zaman purba dipakai dalam himpunan manusia untuk berkomunikasi umum dan yang dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibunya, selama dibesarkan dalam masyarakat seperti itu disebut juga ‘bahasa alamiah’. Hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dari bahasa buatan dan bahasa ilmiah. Kita sekali-kali tidak bisa mengatakan bahwa bahasa tersebut pada saat tertentu telah dipikirkan atau dirancang oleh seseorang atau sekelompok orang. Semua bahasa adalah hasil satu tradisi lama, dan sejauh mana kita melangkah kembali dalam sejarah, di mana pun kita tidak mendapati keterangan yang mungkin dapat menjelaskan bagaimana terjadinya bahasa tersebut.
Lalu apa itu bahasa?
Menurut Markam (1991) bahasa dalam pengertian sempit adalah sarana komunikasi antar individu yang diucapkan. Dalam pengertian luas bahasa ialah sarana komunikasi antar individu yang pada umumnya mencakup tulisan, isyarat, dan kode-kode lainnya.
Ratner, Gleason, dan Narasimhan (dalam Gleason dan Ratner, 1998:5) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol vokal yang arbitrer sebagai sarana interaksi dan kerjasama antarmanusia.
Kata-kata dalam sebuah bahasa merupakan simbol-simbol yang menggantikan sesuatu misalnya kata pohon. Mengapa disebut pohon? Hal itu dimungkinkan dengan adanya konvensi arbiter oleh pemakai bahasa itu sendiri. Mereka menambahkan bahasa manusia dicirikan oleh struktur hirarkinya. Itu berarti bahwa pesan dapat dilihat dalam unit-unit analisis yang lebih kecil. Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu dalam benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu tidak berada di dekatnya.
Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkannya untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus menerus (Suriasumantri, 1983:177).
Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan adanya bahasa, hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik dinyatakan dengan bahasa. Berbeda halnya dengan binatang. Binatang tidak mempunyai bahasa seperti yang dimiliki oleh manusia. Binatang baru berpikir jika objek itu berada 4 di depan matanya. Ada juga jenis binatang yang hidup bermasyarakat atau berkelompok, umpamanya: lebah (dengan ratu, prajurit dan pekerja), semut dan kera. Semua jenis makhluk itu mempunyai suatu sistem komunikasi yang memungkinkan mereka berkelompok, bersubkelompok, dan bekerja sama. Walaupun ada perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk itu (bandingkan umpamanya jenis gibbon, siamang, dan orangutan dengan manusia), para ahli menganggap adanya bahasa manusialah (serta hasilnya) yang merupakan faktor pembeda utama manusia dari jenis-jenis makhluk sosial yang lain. Di atas telah disebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi.
Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan empat golongan fungsi bahasa:
(1) fungsi kebudayaan,
(2) fungsi kemasyarakatan,
(3) fungsi perorangan, dan
(4) fungsi pendidikan.
Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’ (Nababan, 1984:38).
Pengertian Budaya
Brown (1963:46) menyatakan “Budaya merupakan apa yang mengikat manusia satu dengan lainnya. Budaya adalah semua cara perilaku yang berterima dan terpola dari manusia.” Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat (dikutip 5 Suriasumantri, 1983:261) secara lebih terinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan. Salah satu cara berpikir tentang budaya adalah dengan mengkontraskannya dengan alam (nature).
Alam mengacu kepada apa yang dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya mengacu kepada apa yang telah dikembangkan dan dipelihara (Kramsch, 1990:3).
Dari sudut pandang pemakaian bahasa dan pengajarannya, budaya dibagi ke dalam formal culture dan deep culture. Formal culture kadangkala mengacu kepada “culture with a capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan kontribusi kemanusiaan yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi, dan politik. Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering kehilangan pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan kepada polapola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita makan, sikap dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya, bagaimana manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui dan menolak.
Duranti (1997:24) menyatakan budaya sebagai “A common view of culture is that of something learned, transmitted, passed down from one generation to the next, through human actions, often in the form of face-to face interaction, and, of course, through linguistic communication.” 6 Dari beberapa pengertian budaya yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang mencakup
>pengetahuan,
>kepercayaan,
>seni,
>moral,
>hukum,
>adat,
>bahasa,
>teknologi serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan manusia dan melalui komunikasi linguistik.
Fungsi Bahasa sebagai Pengembang Budaya
Anggota masyarakat atau kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan pengalaman, mereka juga menciptakan pengalaman melalui bahasa. Mereka memberi makna kepada pengalaman melalui medium yang mereka pilih untuk berkomunikaksi satu sama lain, misalnya berbicara di telepon atau tatap muka, menulis surat atau menulis pesan email, membaca koran atau mengiterpretasikan grafik. Cara di mana manusia menggunakan medium lisan dan tertulis atau medium visual itu sendiri menciptakan makna yang dapat dipahami oleh kelompok mereka, misalnya melalui suara pembicara, aksen, gaya percakapan, gerak tubuh, dan ekspresi muka.
Melalui semua aspek verbal dan nonverbal inilah bahasa mewujudkan realitas budaya (Kramsch, 1998:3—4).
Kegiatan berbahasa memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakatnya dalam setiap aspek. Bahasa memainkan peranan aktif dalam perkembangan budaya termasuk ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
Neils Bohr tetap menekankan peranan penting yang dimainkan oleh bahasa dalam perkembangan sains dan dalam pemahaman terhadap alam sekitarnya. Sains tanpa peranan bahasa tidak dapat dipahami dan dieksplorasi.
David Bohm telah menganalisis peranan bahasa dalam sains dan pikiran. Dalam kajiannya, dia menjelaskan peranan bahasa dalam upaya menjelaskan praktik sains dalam berbagai manifestasinya. Menurutnya, dalam pandangan tradisional, bahasa dalam sains memainkan peranan yang pasif karena bahasa secara nyata sebagai sarana menyampaikan makna dan informasi yang disampaikan oleh pembicara satu ke pembicara lainnya. Upaya mengekspesikan ide sains yang baru benar-benar sebagai persoalan ketika seseorang mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Peranan penting bahasa yaitu untuk menyalurkan makna atau isi.
Dalam tulisan Bohr dan Bohm dinyatakan secara jelas bahwa dalam evolusi pikiran sain, bahasa memainkan peranan yang lebih aktif daipada yang dikemukakan oleh pandangan tradisional tersebut di atas. Jadi bahasa bukan hanya sekedar pembawa pesan. Jelaslah bahwa penerima pesan seaktif yang dilakukan oleh penyampai pesan. Sistem notasi dan komunikasi ilmiah pun telah khusus dirancang untuk mempermudah pembahasan masalah ilmiah tertentu, yaitu bahasa matematika, logika, kimia, dan sebagainya. Bahasa-bahasa itu memang bukan dimaksudkan untuk komunikasi umum. Sebaliknya terdapat pula bahasa komputer atau bahasa program, yaitu bahasa yang khusus dirancang untuk menuangkan perintah ke dalam bentuk yang dapat diolah komputer. Bahasa memainkan peranan penting pula dalam bidang sastra sebagai produk budaya. Bahkan bahasa memberikan sedemikian banyak berbagai kemungkinan ungkapan, hingga ada juga ruang tertentu untuk perbedaan 8 perseorangan (misalnya secara gaya bahasa) dalam penggunaan-penggunaan bahasa, tanpa membahayakan komunikasi. Dalam bentuk-bentuk tertentu penggunaan bahasa, misalnya sastra, kemungkinan-kemungkinan variasi perseorangan sering muncul. Tetapi variasi perseorangan selalu bergerak dalam rangka apa yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah sosial. Dalam hal ini pun bahasa merupakan ketentuan sosial yaitu bahwa bagian yang penting dalam kontak sosial manusia (interaksi sosial) terjadi melalui penggunaan bahasa. Lewat bahasa manusia dapat bertukar informasi, saling bertanya dan saling memberi tugas, mengungkapkan penghargaan atau kurang menghargai satu dengan lain, saling menjanjikan sesuatu, saling memberi peringatan, dan saling berhubungan dengan cara yang lain. Dengan demikian, hubungan sosial menentukan bagaimana manusia akan saling menegur dalam bahasanya; di pihak lain hubungan sosial tertentu justru terjadi karena manusia saling berbicara dengan cara tertentu. Dengan kata lain, kehidupan sosial seperti yang dikenal oleh manusia sama sekali tidak akan terpikirkan tanpa bahasa dan penggunaan bahasa. Demikian pentingnya peranan bahasa tidak dapat diragukan lagi. Dalam praktik komunikasi yang terjadi, masyarakat menggunakan bahasa dalam “membangun kebudayaannya”. Oleh sebab itu, pembentukan karakter bangsa pun dapat dilakukan dengan sarana bahasa. Mengapa pembentukan karakter bangsa dewasa ini menjadi perhatian penting dan hampir selalu menjadi topik utama dalam seminar-seminar? Tampaknya terdapat kekhawatiran terhadap karakter bangsa Indonesia akhir 9 akhir ini. Berikut diberikan contoh yang dapat menjadi rambu-rambu ke arah kekhawatiran tersebut. Riset Polling Centre pasca-1998 di 27 provinsi menunjukkan lebih dari 60 % masyarakat Indonesia mengartikan demokrasi dari kata demonstrasi karena melihat arak-arakan demonstrasi di jalanan lewat televisi. Dalam esai-esainya Habermas menyatakan maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dewasa ini mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan. Salah satu perhatian Habermas adalah etika komunikasi dalam media televisi. Televisi adalah medium teknokapitalis paling populer yang membawa urbanisasi nilai-nilai secara besar-besaran, termasuk gaya hidup, bahasa, pola konsumsi hingga penyebaran cara bertindak, bereaksi, dan berpikir terhadap dunia sekitarnya. Karena itu, televisi sebagai medium urbanisasi senantiasa berwajah dua. Seperti kecenderungan dewasa ini, menjadi salah satu medium yang melahirkan berbagai keterasingan sosial yang dipenuhi kegoncangan adaptif terhadap dunia
Lindgren (1972) menyebut bahasa itu sebagai ‘perekat masyarakat’.
Broom dan Selznik (1973) menyebutnya sebagai ‘faktor penentu dalam penciptaan masyarakat manusia’.
Nababan (1984:38) menyatakan bahwa bahasa sebagai pengembang budaya dalam kaitan fungsi bahasa itu sendiri.
Hakikat Bahasa
Tidak ada manusia tanpa bahasa; dan juga tidak ada bahasa tanpa manusia. Dalam kebiasaan bertutur setiap hari istilah ‘bahasa’ juga diterapkan pada sarana-sarana komunikasi yang dikuasai oleh binatang, namun ada perbedaan besar, bukan hanya secara kuantitatif melainkan juga secara kualitatif antara sistem komunikasi hewani dan manusiawi.
Karena itu dibenarkanlah istilah ‘bahasa’ untuk bahasa manusiawi; dan juga dibenarkan untuk saling membandingkan komunikasi dan hewani dalam rangka satu ilmu yang lebih umum yang menekuni segala bentuk yang mungkin berupa penyampaian tanda. Ilmu tersebut dewasa ini lazim disebut semiotik (ilmu tanda). Dari hal-hal tersebut diperoleh kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu sifat yang paling khas bagi manusia. Hal ini diungkapkan dalam definisi lama bagi manusia, yaitu animaloquax (hewan berbicara). Bahasa yang sejak zaman purba dipakai dalam himpunan manusia untuk berkomunikasi umum dan yang dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibunya, selama dibesarkan dalam masyarakat seperti itu disebut juga ‘bahasa alamiah’. Hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dari bahasa buatan dan bahasa ilmiah. Kita sekali-kali tidak bisa mengatakan bahwa bahasa tersebut pada saat tertentu telah dipikirkan atau dirancang oleh seseorang atau sekelompok orang. Semua bahasa adalah hasil satu tradisi lama, dan sejauh mana kita melangkah kembali dalam sejarah, di mana pun kita tidak mendapati keterangan yang mungkin dapat menjelaskan bagaimana terjadinya bahasa tersebut.
Lalu apa itu bahasa?
Menurut Markam (1991) bahasa dalam pengertian sempit adalah sarana komunikasi antar individu yang diucapkan. Dalam pengertian luas bahasa ialah sarana komunikasi antar individu yang pada umumnya mencakup tulisan, isyarat, dan kode-kode lainnya.
Ratner, Gleason, dan Narasimhan (dalam Gleason dan Ratner, 1998:5) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol vokal yang arbitrer sebagai sarana interaksi dan kerjasama antarmanusia.
Kata-kata dalam sebuah bahasa merupakan simbol-simbol yang menggantikan sesuatu misalnya kata pohon. Mengapa disebut pohon? Hal itu dimungkinkan dengan adanya konvensi arbiter oleh pemakai bahasa itu sendiri. Mereka menambahkan bahasa manusia dicirikan oleh struktur hirarkinya. Itu berarti bahwa pesan dapat dilihat dalam unit-unit analisis yang lebih kecil. Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu dalam benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu tidak berada di dekatnya.
Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkannya untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus menerus (Suriasumantri, 1983:177).
Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan adanya bahasa, hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik dinyatakan dengan bahasa. Berbeda halnya dengan binatang. Binatang tidak mempunyai bahasa seperti yang dimiliki oleh manusia. Binatang baru berpikir jika objek itu berada 4 di depan matanya. Ada juga jenis binatang yang hidup bermasyarakat atau berkelompok, umpamanya: lebah (dengan ratu, prajurit dan pekerja), semut dan kera. Semua jenis makhluk itu mempunyai suatu sistem komunikasi yang memungkinkan mereka berkelompok, bersubkelompok, dan bekerja sama. Walaupun ada perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk itu (bandingkan umpamanya jenis gibbon, siamang, dan orangutan dengan manusia), para ahli menganggap adanya bahasa manusialah (serta hasilnya) yang merupakan faktor pembeda utama manusia dari jenis-jenis makhluk sosial yang lain. Di atas telah disebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi.
Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan empat golongan fungsi bahasa:
(1) fungsi kebudayaan,
(2) fungsi kemasyarakatan,
(3) fungsi perorangan, dan
(4) fungsi pendidikan.
Keempat macam fungsi itu tentu berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’ (Nababan, 1984:38).
Pengertian Budaya
Brown (1963:46) menyatakan “Budaya merupakan apa yang mengikat manusia satu dengan lainnya. Budaya adalah semua cara perilaku yang berterima dan terpola dari manusia.” Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat (dikutip 5 Suriasumantri, 1983:261) secara lebih terinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan. Salah satu cara berpikir tentang budaya adalah dengan mengkontraskannya dengan alam (nature).
Alam mengacu kepada apa yang dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya mengacu kepada apa yang telah dikembangkan dan dipelihara (Kramsch, 1990:3).
Dari sudut pandang pemakaian bahasa dan pengajarannya, budaya dibagi ke dalam formal culture dan deep culture. Formal culture kadangkala mengacu kepada “culture with a capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan kontribusi kemanusiaan yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi, dan politik. Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering kehilangan pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan kepada polapola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita makan, sikap dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya, bagaimana manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui dan menolak.
Duranti (1997:24) menyatakan budaya sebagai “A common view of culture is that of something learned, transmitted, passed down from one generation to the next, through human actions, often in the form of face-to face interaction, and, of course, through linguistic communication.” 6 Dari beberapa pengertian budaya yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang mencakup
>pengetahuan,
>kepercayaan,
>seni,
>moral,
>hukum,
>adat,
>bahasa,
>teknologi serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan manusia dan melalui komunikasi linguistik.
Fungsi Bahasa sebagai Pengembang Budaya
Anggota masyarakat atau kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan pengalaman, mereka juga menciptakan pengalaman melalui bahasa. Mereka memberi makna kepada pengalaman melalui medium yang mereka pilih untuk berkomunikaksi satu sama lain, misalnya berbicara di telepon atau tatap muka, menulis surat atau menulis pesan email, membaca koran atau mengiterpretasikan grafik. Cara di mana manusia menggunakan medium lisan dan tertulis atau medium visual itu sendiri menciptakan makna yang dapat dipahami oleh kelompok mereka, misalnya melalui suara pembicara, aksen, gaya percakapan, gerak tubuh, dan ekspresi muka.
Melalui semua aspek verbal dan nonverbal inilah bahasa mewujudkan realitas budaya (Kramsch, 1998:3—4).
Kegiatan berbahasa memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakatnya dalam setiap aspek. Bahasa memainkan peranan aktif dalam perkembangan budaya termasuk ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
Neils Bohr tetap menekankan peranan penting yang dimainkan oleh bahasa dalam perkembangan sains dan dalam pemahaman terhadap alam sekitarnya. Sains tanpa peranan bahasa tidak dapat dipahami dan dieksplorasi.
David Bohm telah menganalisis peranan bahasa dalam sains dan pikiran. Dalam kajiannya, dia menjelaskan peranan bahasa dalam upaya menjelaskan praktik sains dalam berbagai manifestasinya. Menurutnya, dalam pandangan tradisional, bahasa dalam sains memainkan peranan yang pasif karena bahasa secara nyata sebagai sarana menyampaikan makna dan informasi yang disampaikan oleh pembicara satu ke pembicara lainnya. Upaya mengekspesikan ide sains yang baru benar-benar sebagai persoalan ketika seseorang mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Peranan penting bahasa yaitu untuk menyalurkan makna atau isi.
Dalam tulisan Bohr dan Bohm dinyatakan secara jelas bahwa dalam evolusi pikiran sain, bahasa memainkan peranan yang lebih aktif daipada yang dikemukakan oleh pandangan tradisional tersebut di atas. Jadi bahasa bukan hanya sekedar pembawa pesan. Jelaslah bahwa penerima pesan seaktif yang dilakukan oleh penyampai pesan. Sistem notasi dan komunikasi ilmiah pun telah khusus dirancang untuk mempermudah pembahasan masalah ilmiah tertentu, yaitu bahasa matematika, logika, kimia, dan sebagainya. Bahasa-bahasa itu memang bukan dimaksudkan untuk komunikasi umum. Sebaliknya terdapat pula bahasa komputer atau bahasa program, yaitu bahasa yang khusus dirancang untuk menuangkan perintah ke dalam bentuk yang dapat diolah komputer. Bahasa memainkan peranan penting pula dalam bidang sastra sebagai produk budaya. Bahkan bahasa memberikan sedemikian banyak berbagai kemungkinan ungkapan, hingga ada juga ruang tertentu untuk perbedaan 8 perseorangan (misalnya secara gaya bahasa) dalam penggunaan-penggunaan bahasa, tanpa membahayakan komunikasi. Dalam bentuk-bentuk tertentu penggunaan bahasa, misalnya sastra, kemungkinan-kemungkinan variasi perseorangan sering muncul. Tetapi variasi perseorangan selalu bergerak dalam rangka apa yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah sosial. Dalam hal ini pun bahasa merupakan ketentuan sosial yaitu bahwa bagian yang penting dalam kontak sosial manusia (interaksi sosial) terjadi melalui penggunaan bahasa. Lewat bahasa manusia dapat bertukar informasi, saling bertanya dan saling memberi tugas, mengungkapkan penghargaan atau kurang menghargai satu dengan lain, saling menjanjikan sesuatu, saling memberi peringatan, dan saling berhubungan dengan cara yang lain. Dengan demikian, hubungan sosial menentukan bagaimana manusia akan saling menegur dalam bahasanya; di pihak lain hubungan sosial tertentu justru terjadi karena manusia saling berbicara dengan cara tertentu. Dengan kata lain, kehidupan sosial seperti yang dikenal oleh manusia sama sekali tidak akan terpikirkan tanpa bahasa dan penggunaan bahasa. Demikian pentingnya peranan bahasa tidak dapat diragukan lagi. Dalam praktik komunikasi yang terjadi, masyarakat menggunakan bahasa dalam “membangun kebudayaannya”. Oleh sebab itu, pembentukan karakter bangsa pun dapat dilakukan dengan sarana bahasa. Mengapa pembentukan karakter bangsa dewasa ini menjadi perhatian penting dan hampir selalu menjadi topik utama dalam seminar-seminar? Tampaknya terdapat kekhawatiran terhadap karakter bangsa Indonesia akhir 9 akhir ini. Berikut diberikan contoh yang dapat menjadi rambu-rambu ke arah kekhawatiran tersebut. Riset Polling Centre pasca-1998 di 27 provinsi menunjukkan lebih dari 60 % masyarakat Indonesia mengartikan demokrasi dari kata demonstrasi karena melihat arak-arakan demonstrasi di jalanan lewat televisi. Dalam esai-esainya Habermas menyatakan maraknya berbagai bentuk unjuk rasa dewasa ini mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan perlunya dibangun kembali etika komunikasi yakni suatu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan. Salah satu perhatian Habermas adalah etika komunikasi dalam media televisi. Televisi adalah medium teknokapitalis paling populer yang membawa urbanisasi nilai-nilai secara besar-besaran, termasuk gaya hidup, bahasa, pola konsumsi hingga penyebaran cara bertindak, bereaksi, dan berpikir terhadap dunia sekitarnya. Karena itu, televisi sebagai medium urbanisasi senantiasa berwajah dua. Seperti kecenderungan dewasa ini, menjadi salah satu medium yang melahirkan berbagai keterasingan sosial yang dipenuhi kegoncangan adaptif terhadap dunia