Tampilkan postingan dengan label Ilmu Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Filsafat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Mei 2019

Filsafat Iluminasi Suhrawardi (Filsafat Isyraqiyah)

Filsafat Iluminasi

Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi.
Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan.
Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.


Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi. Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi.



 Iluminasi dan Peripatetik

Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât, yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda.
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis. Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr, Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.

Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.
Menurut Ziai, Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi. Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub), meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul). Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness) dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif.
Problem Validitas Pengetahuan   
                    
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10). Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal. Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî. Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai. Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).

Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.
Logika Illuminasi: beberapa poin Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).” Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar). Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna. Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif, dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.” Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya “dirasakan.” Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan

Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya. Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan. Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.

Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.


Metodologi Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal;
(1) suatu aktivitas tertentu,
(2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan,
(3) ilham.
Kedua, tahap penerimaan, dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demokrasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai fakta positif yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni, sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city. Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. 
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul). Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini.