Filsafat Iluminasi
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya. Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan
bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi.
Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan.
Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan.
Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.
Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi
atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan
harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang
diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang
didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada
cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai
bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi.
Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan
wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek,
jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas
pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter
dari bangunan filsafat isyrâqi. Selanjutnya, tentang sumber-sumber
pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi.
Iluminasi dan Peripatetik
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat
memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât, yaitu
buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa
Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang
lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari
teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin
menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya
menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana
itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas
usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan
bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan
ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda.
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing
karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara
sistematis. Ini
berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai
dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis
semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan
menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya
Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa
bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan
ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan
sahabat dan murid-muridnya.Ini
berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar
secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya,
Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh
karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang
pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang
dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan
oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr, Louis
Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis
filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya
Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq
al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi
Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang
diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang,
menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan
titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat
illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu
sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah
yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri,
al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’
Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode
al-bahtsnya Peripatetik.
Menurut Ziai, Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat
diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif;
hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan
membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan
filsafat illuminasi. Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa
yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran
proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub), meski
tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing).
Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd;
essentialist definition).Singkat
kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar
(maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu”
menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin
dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul). Pengetahuan, baru dapat
diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya
(ana’iyya; self-consciousness) dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan
objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek
disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan
ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan
objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini
realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah)
dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira
metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak
teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa
kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif.
Problem Validitas
Pengetahuan
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi)
ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10). Ini
merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang
selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din
al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah)
dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya
sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para
filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi
menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal. Dari
beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan
dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu
demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode
diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar
tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî. Barang kali, dalam
bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai
pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin.
Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini,
sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi).
Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi
dan idrak bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui
definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai
pada idrak, belum ‘ilm.
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi
(Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya,
dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang
diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan
selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun
ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau
persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja
terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah
diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan
atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami,
memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai. Di sinilah sekali lagi perbedaan
antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury)
dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik,
yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan
predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang
diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat
singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini
diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara
subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus
diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak
demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama,
yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon
psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi
apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan
dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian
dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang
diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat
diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan”
harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan
faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek
diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri,
dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi
hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi
didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek
diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.
Logika Illuminasi: beberapa poin Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu
tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti
essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau
pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya
dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus
(jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu
juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).” Karena ta’rif
hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas
suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu
harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak
jelas atau lebih jelas (al-azhhar). Inilah sebagian gagasan epistemologi
illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana
adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh
Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang
diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika
Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya
menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis,
manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini”
atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan
totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika
Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah
al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan
essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan
hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia)
sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi”
(sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin
membuat uraian yang sempurna. Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh
Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya
dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar
adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan
yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi
definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai
dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan
tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud
manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”
Barangsiapa menyaksikan sesuatu
maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai
bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang
esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik,
adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu
dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat
diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya
(kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan
demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana
adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an
al-ta’rif, dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam
persepsi indria.” Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa
yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan
yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan
menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya
“dirasakan.” Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya. Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam
posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara
menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang
melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan
apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan
illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi
mengenai dasar pengetahuan. Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan
klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis
sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif
yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari
proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi
essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal)
ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti
itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi
objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi.
Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga
disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek
yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap
esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara
intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan
menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang
cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan
manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada
‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal
objek, lebih dari sekedar tahu.
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan
objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib?
Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang
melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas
hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi
sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir”
dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek
bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi
(al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran
Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan
kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya
dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya,
kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan
kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya.
Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia
melihatmu”.
Metodologi Mendapatkan Pengetahuan
Metodologi Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa
kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui
tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan
iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan
diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk
menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan
sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan
maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui
aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang
oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi),
seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran
intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah).
Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal;
(1) suatu aktivitas tertentu,
(2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan,
(3) ilham.
(1) suatu aktivitas tertentu,
(2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan,
(3) ilham.
Kedua, tahap penerimaan, dimana
Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai
serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana
dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan
sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan
yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi
diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang
digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari
situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan
diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang
sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi,
jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau
dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun
dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama
lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan
fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas
keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1)
Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran
beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah
memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat
pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya.
Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3)
Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak
tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal
dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para
pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui
tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat
pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan
Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini
Kontribusi:
Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan
paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang
menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang
dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas
paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu
sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan
paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi
apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative yang
mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa
saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demokrasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah
dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme,
hanya mempercayai fakta positif yang
digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran
Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang
meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error
elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa
prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain
dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu,
seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni,
tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid
sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya.
Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern
bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi
metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk
metafisika, Alexander
Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk
seni, sementara
tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan
agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology
of the secular city. Sejarah
mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi
dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya
wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar
geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis
pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila
diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial,
lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini,
membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif,
deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari
dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan
peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi
ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi
kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan
modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi
(al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi
(al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak
(persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang
modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama
dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah)
memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui
esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini.
Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek)
dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi,
keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama
(spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati
posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub)
tetapi diperoleh (hushul). Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam,
bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis
keilmuan modern saat ini.