Kita ketahui bahwa kita berkehidupan dengan menggunakan bahasa.
Berbahasa adalah suatu kegiatan yang dilakukan selama kita bangun, bahkan
juga kadang-kadang waktu kita tidur atau mimpi. Kita menganggap berbahasa
itu sebagai sesuatu yang normal, bahkan alamiah seperti bernapas dan kita tidak
memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan keadaan kita andaikan tidak
memiliki bahasa dan kita tidak melakukan tindakan berbahasa, barangkali
identitas kita sebagai ‘genus manusia’ (homo sapiens) akan hilang. Kiranya tidak
terbayangkan adanya ‘kemanusiaan’ kita tanpa bahasa, tanpa berbahasa. Yang
paling membedakan kita dari segala makhluk yang lain ialah bahwa kita
mempunyai bahasa.
Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat
(atau makhluk sosial). Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan
dikembangkan dengan bahasa,
Lindgren (1972) menyebut bahasa itu sebagai
‘perekat masyarakat’.
Broom dan Selznik (1973) menyebutnya sebagai ‘faktor
penentu dalam penciptaan masyarakat manusia’.
Nababan (1984:38)
menyatakan bahwa bahasa sebagai pengembang budaya dalam kaitan fungsi
bahasa itu sendiri.
Hakikat Bahasa
Tidak ada manusia tanpa bahasa; dan juga tidak ada bahasa tanpa
manusia. Dalam kebiasaan bertutur setiap hari istilah ‘bahasa’ juga diterapkan
pada sarana-sarana komunikasi yang dikuasai oleh binatang, namun ada
perbedaan besar, bukan hanya secara kuantitatif melainkan juga secara kualitatif
antara sistem komunikasi hewani dan manusiawi.
Karena itu dibenarkanlah
istilah ‘bahasa’ untuk bahasa manusiawi; dan juga dibenarkan untuk saling
membandingkan komunikasi dan hewani dalam rangka satu ilmu yang lebih
umum yang menekuni segala bentuk yang mungkin berupa penyampaian tanda.
Ilmu tersebut dewasa ini lazim disebut semiotik (ilmu tanda). Dari hal-hal
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu sifat yang
paling khas bagi manusia. Hal ini diungkapkan dalam definisi lama bagi
manusia, yaitu animaloquax (hewan berbicara).
Bahasa yang sejak zaman purba dipakai dalam himpunan manusia
untuk berkomunikasi umum dan yang dipelajari anak-anak sebagai bahasa
ibunya, selama dibesarkan dalam masyarakat seperti itu disebut juga ‘bahasa
alamiah’. Hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dari bahasa buatan dan
bahasa ilmiah. Kita sekali-kali tidak bisa mengatakan bahwa bahasa tersebut
pada saat tertentu telah dipikirkan atau dirancang oleh seseorang atau
sekelompok orang. Semua bahasa adalah hasil satu tradisi lama, dan sejauh
mana kita melangkah kembali dalam sejarah, di mana pun kita tidak mendapati
keterangan yang mungkin dapat menjelaskan bagaimana terjadinya bahasa
tersebut.
Lalu apa itu bahasa?
Menurut Markam (1991) bahasa dalam pengertian
sempit adalah sarana komunikasi antar individu yang diucapkan. Dalam
pengertian luas bahasa ialah sarana komunikasi antar individu yang pada
umumnya mencakup tulisan, isyarat, dan kode-kode lainnya.
Ratner, Gleason, dan Narasimhan (dalam Gleason dan Ratner, 1998:5)
mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol vokal yang
arbitrer sebagai sarana interaksi dan kerjasama antarmanusia.
Kata-kata dalam
sebuah bahasa merupakan simbol-simbol yang menggantikan sesuatu misalnya
kata pohon. Mengapa disebut pohon? Hal itu dimungkinkan dengan adanya
konvensi arbiter oleh pemakai bahasa itu sendiri. Mereka menambahkan bahasa
manusia dicirikan oleh struktur hirarkinya. Itu berarti bahwa pesan dapat dilihat
dalam unit-unit analisis yang lebih kecil.
Adanya bahasa memungkinkan manusia memikirkan sesuatu dalam
benak kepalanya meskipun objek yang sedang dipikirkannya itu tidak berada di
dekatnya.
Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkannya untuk
memikirkan sesuatu masalah secara terus menerus (Suriasumantri, 1983:177).
Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berpikir secara teratur namun
juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain.
Dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan sikap dan perasaan. Dengan
adanya bahasa, hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan
dunia simbolik dinyatakan dengan bahasa.
Berbeda halnya dengan binatang. Binatang tidak mempunyai bahasa
seperti yang dimiliki oleh manusia. Binatang baru berpikir jika objek itu berada
4
di depan matanya. Ada juga jenis binatang yang hidup bermasyarakat atau
berkelompok, umpamanya: lebah (dengan ratu, prajurit dan pekerja), semut dan
kera. Semua jenis makhluk itu mempunyai suatu sistem komunikasi yang
memungkinkan mereka berkelompok, bersubkelompok, dan bekerja sama.
Walaupun ada perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk itu (bandingkan
umpamanya jenis gibbon, siamang, dan orangutan dengan manusia), para ahli
menganggap adanya bahasa manusialah (serta hasilnya) yang merupakan faktor
pembeda utama manusia dari jenis-jenis makhluk sosial yang lain.
Di atas telah disebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi.
Jika kita mengkaji fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam
masyarakat secara lebih terperinci, kita dapat membedakan empat golongan
fungsi bahasa:
(1) fungsi kebudayaan,
(2) fungsi kemasyarakatan,
(3) fungsi
perorangan, dan
(4) fungsi pendidikan.
Keempat macam fungsi itu tentu
berkaitan juga, sebab ‘perorangan’ adalah anggota ‘masyarakat’ yang hidup
dalam masyarakat itu sesuai dengan pola-pola ‘kebudayaannya’ yang diwariskan
dan dikembangkan melalui ‘pendidikan’ (Nababan, 1984:38).
Pengertian Budaya
Brown (1963:46) menyatakan “Budaya merupakan apa yang mengikat
manusia satu dengan lainnya. Budaya adalah semua cara perilaku yang berterima
dan terpola dari manusia.”
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kuntjaraningrat (dikutip
5
Suriasumantri, 1983:261) secara lebih terinci membagi kebudayaan menjadi
unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencarian serta sistem teknologi dan peralatan.
Salah satu cara berpikir tentang budaya adalah dengan
mengkontraskannya dengan alam (nature).
Alam mengacu kepada apa yang
dilahirkan dan tumbuh secara organik sedangkan budaya mengacu kepada apa
yang telah dikembangkan dan dipelihara (Kramsch, 1990:3).
Dari sudut pandang pemakaian bahasa dan pengajarannya, budaya dibagi
ke dalam formal culture dan deep culture. Formal culture kadangkala mengacu
kepada “culture with a capital C” meliputi manifestasi-menifestasi dan
kontribusi kemanusiaan yakni seni, musik, karya sastra, arsitektur, teknologi,
dan politik. Bagaimanapun dengan sudut pandang budaya seperti ini, kita sering
kehilangan pandangan budaya dari sisi individual.
Deep culture atau “culture with a small c,” memfokuskan kepada polapola perilaku atau gaya hidup manusia. Kapan dan apa yang kita makan, sikap
dan perilaku manusia kepada teman dan anggota keluarganya, bagaimana
manusia berekspresi, yang mana yang mereka gunakan ketika menyetujui dan
menolak.
Duranti (1997:24) menyatakan budaya sebagai “A common view of
culture is that of something learned, transmitted, passed down from one
generation to the next, through human actions, often in the form of face-to face
interaction, and, of course, through linguistic communication.”
6
Dari beberapa pengertian budaya yang telah disebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya adalah keseluruhan yang mencakup
>pengetahuan,
>kepercayaan,
>seni,
>moral,
>hukum,
>adat,
>bahasa,
>teknologi serta kemampuan dan
kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tindakan manusia
dan melalui komunikasi linguistik.
Fungsi Bahasa sebagai Pengembang Budaya
Anggota masyarakat atau kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan
pengalaman, mereka juga menciptakan pengalaman melalui bahasa. Mereka
memberi makna kepada pengalaman melalui medium yang mereka pilih untuk
berkomunikaksi satu sama lain, misalnya berbicara di telepon atau tatap muka,
menulis surat atau menulis pesan email, membaca koran atau mengiterpretasikan
grafik. Cara di mana manusia menggunakan medium lisan dan tertulis atau
medium visual itu sendiri menciptakan makna yang dapat dipahami oleh
kelompok mereka, misalnya melalui suara pembicara, aksen, gaya percakapan,
gerak tubuh, dan ekspresi muka.
Melalui semua aspek verbal dan nonverbal
inilah bahasa mewujudkan realitas budaya (Kramsch, 1998:3—4).
Kegiatan berbahasa memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakatnya dalam setiap aspek. Bahasa memainkan peranan aktif dalam
perkembangan budaya termasuk ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
Neils Bohr tetap menekankan peranan penting yang dimainkan oleh
bahasa dalam perkembangan sains dan dalam pemahaman terhadap alam
sekitarnya. Sains tanpa peranan bahasa tidak dapat dipahami dan dieksplorasi.
David Bohm telah menganalisis peranan bahasa dalam sains dan pikiran.
Dalam kajiannya, dia menjelaskan peranan bahasa dalam upaya menjelaskan
praktik sains dalam berbagai manifestasinya. Menurutnya, dalam pandangan
tradisional, bahasa dalam sains memainkan peranan yang pasif karena bahasa
secara nyata sebagai sarana menyampaikan makna dan informasi yang
disampaikan oleh pembicara satu ke pembicara lainnya. Upaya mengekspesikan
ide sains yang baru benar-benar sebagai persoalan ketika seseorang mencoba
menemukan kata-kata yang tepat. Peranan penting bahasa yaitu untuk
menyalurkan makna atau isi.
Dalam tulisan Bohr dan Bohm dinyatakan secara jelas bahwa dalam
evolusi pikiran sain, bahasa memainkan peranan yang lebih aktif daipada yang
dikemukakan oleh pandangan tradisional tersebut di atas. Jadi bahasa bukan
hanya sekedar pembawa pesan. Jelaslah bahwa penerima pesan seaktif yang
dilakukan oleh penyampai pesan.
Sistem notasi dan komunikasi ilmiah pun telah khusus dirancang untuk
mempermudah pembahasan masalah ilmiah tertentu, yaitu bahasa matematika,
logika, kimia, dan sebagainya. Bahasa-bahasa itu memang bukan dimaksudkan
untuk komunikasi umum. Sebaliknya terdapat pula bahasa komputer atau bahasa
program, yaitu bahasa yang khusus dirancang untuk menuangkan perintah ke
dalam bentuk yang dapat diolah komputer.
Bahasa memainkan peranan penting pula dalam bidang sastra sebagai
produk budaya. Bahkan bahasa memberikan sedemikian banyak berbagai
kemungkinan ungkapan, hingga ada juga ruang tertentu untuk perbedaan
8
perseorangan (misalnya secara gaya bahasa) dalam penggunaan-penggunaan
bahasa, tanpa membahayakan komunikasi. Dalam bentuk-bentuk tertentu
penggunaan bahasa, misalnya sastra, kemungkinan-kemungkinan variasi
perseorangan sering muncul. Tetapi variasi perseorangan selalu bergerak dalam
rangka apa yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah sosial.
Dalam hal ini pun bahasa merupakan ketentuan sosial yaitu bahwa
bagian yang penting dalam kontak sosial manusia (interaksi sosial) terjadi
melalui penggunaan bahasa. Lewat bahasa manusia dapat bertukar informasi,
saling bertanya dan saling memberi tugas, mengungkapkan penghargaan atau
kurang menghargai satu dengan lain, saling menjanjikan sesuatu, saling memberi
peringatan, dan saling berhubungan dengan cara yang lain. Dengan demikian,
hubungan sosial menentukan bagaimana manusia akan saling menegur dalam
bahasanya; di pihak lain hubungan sosial tertentu justru terjadi karena manusia
saling berbicara dengan cara tertentu.
Dengan kata lain, kehidupan sosial seperti yang dikenal oleh manusia
sama sekali tidak akan terpikirkan tanpa bahasa dan penggunaan bahasa.
Demikian pentingnya peranan bahasa tidak dapat diragukan lagi. Dalam
praktik komunikasi yang terjadi, masyarakat menggunakan bahasa dalam
“membangun kebudayaannya”. Oleh sebab itu, pembentukan karakter bangsa
pun dapat dilakukan dengan sarana bahasa.
Mengapa pembentukan karakter bangsa dewasa ini menjadi perhatian
penting dan hampir selalu menjadi topik utama dalam seminar-seminar?
Tampaknya terdapat kekhawatiran terhadap karakter bangsa Indonesia akhir
9
akhir ini. Berikut diberikan contoh yang dapat menjadi rambu-rambu ke arah
kekhawatiran tersebut.
Riset Polling Centre pasca-1998 di 27 provinsi menunjukkan lebih dari
60 % masyarakat Indonesia mengartikan demokrasi dari kata demonstrasi
karena melihat arak-arakan demonstrasi di jalanan lewat televisi.
Dalam esai-esainya Habermas menyatakan maraknya berbagai bentuk
unjuk rasa dewasa ini mengisyaratkan terjadinya krisis sosiokultural yang
menuju krisis solidaritas sosial. Karena itu, filsuf Jerman ini menekankan
perlunya dibangun kembali etika komunikasi yakni suatu kondisi komunikasi
yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan menjamin
otonomi warga melalui kemampuan emansipatoris sehingga menghasilkan
proses pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.
Salah satu perhatian Habermas adalah etika komunikasi dalam media
televisi. Televisi adalah medium teknokapitalis paling populer yang membawa
urbanisasi nilai-nilai secara besar-besaran, termasuk gaya hidup, bahasa, pola
konsumsi hingga penyebaran cara bertindak, bereaksi, dan berpikir terhadap
dunia sekitarnya.
Karena itu, televisi sebagai medium urbanisasi senantiasa berwajah dua.
Seperti kecenderungan dewasa ini, menjadi salah satu medium yang melahirkan
berbagai keterasingan sosial yang dipenuhi kegoncangan adaptif terhadap dunia