Dengan demikian Khilafah Islam terpecah dalam beberapa negara, dengan tradisi politik yang sejak munculnya Muawiyah menjadi Raja Arab (40-60 H) sudah bergeser dari doktrin politik Islam yang hakiki kepada monarkisme yang secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi, dan diwarnai oleh konflik-konflik politik yang berkepanjangan.
Namun, dibalik pergolakan ambisi duniawi yang terus membuncah itu, Hasan bin Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar tetap kukuh mempertahankan panji dakwah yang selalu menomersatukan kemurnian Islam.
Sebuah dinasti yang didirikan oleh Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena pendiri dan penguasa negeri ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi SAW.. Dalam kekuasaan dinastinya, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kuffah dan akhirnya ke Baghdad sampai runtuhnya daulah Abbasiyah. Baghdad dijuluki sebagai “Madinah as-Salam”.[1]
Dinasti Abbasiyah memerintah lebih dari lima abad, tepatnya selama 524 tahun, dari tahun 132 H sampai 656 H. Dalam tempo pemerintahan Abbasiyah itu kita bagi kepada tiga periode yang masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri berbeda dari yang lain. Periode-periode tersebut adalah:
Ø Periode pertama (132-232 H), kekuasaan pada periode ini berada di tangan para khalifah.
Ø Periode kedua (232-590 H), pada periode ini kekuasaan hilang dari tangan para khalifah.
Ø Periode ketiga (590-656 H), pada periode ini kekuasaan berada kembali di tangan para khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.[2]
1. Masa Keemasan
Dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Abu Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur. Pada periode ini kekuasaan berada di tangan para khalifah di seluruh kerajaan Islam kecuali di Andalusia.
Setelah sendi-sendi negara kuat, muncullah masa keemasan pada tujuh khalifah berikutnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-786 M), Harun ar-Rasyid (786-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi, perekonomian daulah Abbasiyah mulai meningkat dengan meningkatnya pendapatan dari sektor pertanian dan pertambangan. Puncak popularitas daulah Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan putranya al-Makmun. Harun banyak memanfaatkan kekayaan negara untuk keperluan sosial. Negara Islam di masa Harun menjadi negara super power yang tiada tandingannya.[3]
Dan selanjutnya, pengganti Harun ar-Rasyid adalah anaknya, yakni al-Makmun. Pada masanya, Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dengan berdirinya “Bait al-Hikmah”.
2. Masa Kemunduran
Dimulai sejak Abbasiyah diperintah oleh khalifah kesebelas, yaitu Abu Ja’far Muhammad al-Muntashir (247-248 H) sampai khalifah terakhir, yakni Abu Ahmad Abdullah al-Mu’tashim (640-656 H). pada masanya, khalifah dan putra-putranya terus menikmati kedaulatan dan kemerdekaan, sampai akhirnya kaum Tatar yang dipimpin oleh Hulaku datang menyerang dan menaklukan dunia Islam serta memusnahkan kota Baghdad, membunuh khalifah dan menamatkan pemerintahan Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M.[4]
Gerakan dakwah pada masa Abbasiyah ini tidak lepas dari peran Ulama dan Umara yang masih tetap konsisten untuk memperjuangkan serta membela agamanya. Karena seiring dengan kebencian dan kedengkian serta munculnya gerakan-gerakan orang-orang Eropa Kristen, kondisi dunia Islam dan kaum Muslimin telah menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah di mana saat itu sebagaimana yang ditulis oleh Majid ‘Irsan al-Kilani dalam bukunya bahwa di dalam tubuh umat Islam telah terjadi perpecahan pemikiran Islam.
Tuntutan perubahan atas kondisi masyarakat saat itu terasa semakin mendesak, demikian juga dengan bahaya kekuatan luar yang terus mengancam. Saat itu, masyarakat Muslim dihadapkan pada dua pilhan, yaitu melakukan perubahan radikal dari dalam atau menyerah kepada ancaman yang membawa kebinasaan. Akan tetapi, seluruh elemen dan potensi gerakan dakwah dikerahkan oleh para Ulama dan Umara untuk memilih perubahan radikal dari dalam diri (internal).[5]
Sampai mereka pun lebih memfokuskan metodenya kepada gerakan dakwah yang bersifat kultur, yakni lebih memfokuskan perhatiannya kepada upaya berbenah diri untuk mengevaluasi dan memperbarui semua pemikiran dan konsepnya selama ini, agar kemudian bisa kembali ke tengah masyarakat dan memulai proses pembaruan (Ishlah) atau menjalankan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar.
C. Objek dan Kondisi Dakwah Dinasti Abbasiyah
Selama lima abad, Dinasti Abbasiyah menjadi sarana dakwah dan pendukung dakwah Islam. Dengan semangat dakwah yang tinggi, daulat ini menjadi Kerajaan Islam yang telah mampu mengubah dunia dari gelap menjadi terang, dari kemunduran menuju kemajuan.
Pada masa ini dakwah dibagi menjadi dua level, yaitu: level negara dan penguasa dan level masyarakat.
1. Level Negara dan Penguasa
a. Para khalifah Abbasiyah pada masa keemasan adalah juga seorang ulama yang sangat mencintai ilmu. Mereka memuliakan ulama dan pujangga, serta membuka pintu istana selebar-lebarnya untuk mereka.
b. Mendorong dan memfasilitasi upaya penerjemahan berbagai ilmu dari berbagai bahasa ke bahasa Arab, seperti filsafat, ilmu kedokteran, dan lain-lain.
c. Mendorong dan memfasilitasi pembaruan sistem pendidikan dengan munculnya Madrasah Nidzamul Muluk dan Madrasah Nidzamiyah di Baghdad.
2. Level Masyarakat
Pada level masyarakat aktivitas keislaman tidak tidur, dan tidak terlalu terpengaruh oleh kelemahan dan kerusakan yang terjadi di level negara. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah penuh dengan kajian ilmiah. Masjid-masjid di Baghdad, Bashrah, Kuffah, dan lainnya dipenuhi oleh para ulama, penceramah, ahli hadits, dan lainnya. Para ulama pada masa ini memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam pencerahan iman masyarakat, bahkan kadang-kadang mengalahkan pengaruh para khalifah.
Materi yang menonjol saat itu adalah tazkiyatun-nufus, peringatan tentang negeri akhirat, serta seruan agar tidak terpedaya oleh kehidupan dunia. Materi ini berpijak pada keadaan negeri yang waktu itu berada pada situasi yang bermewah-mewahan dan kemaksiatan yang terjadi di level penguasa. Di antara da’i yang paling terkenal adalah Ibnu Simak yang lebih dikenal dengan sebutan “wa’idz rasyid” (da’i yang bijak).
Meskipun ada kelemahan yang nyata di level pemimpin dan banyaknya penyimpangan agama, namun dengan rahmat Allah, gerakan dakwah berjalan terus dengan baik yang dilakukan oleh pribadi-pribadi maupun yang dilakukan oleh kelompok. Para da’i berangkat melaksanakan kewajibannya ke berbagai tempat, dan di antara hasilnya adalah masuk Islamnya sepertiga penduduk anak benua India dan masuk Islamnya penduduk negeri China dalam jumlah yang cukup besar.[6]
Dan di antara kebanggaan yang dicapai pada periode ini adalah munculnya imam-imam madzhab yang empat, ulama hadits, dan pakar-pakar nahwu yang peranannya sangat dirasakan oleh masyarakat zaman itu sebagai pengabdian yang murni untuk Islam.
Sumber Referensi :
Ilaihi, Wahyu dan Hefni, Harjani, Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam III. Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1997.
Masyhud, Diktat: Mata Kuliah Sejarah Dakwah. Surabaya: STAIL Pondok Pesantren Hidayatullah, 2010.
[1] Wahyu ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 117.
[2] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: al-Husna Zikra, 1997), hal. 2.
[3] Wahyu ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 119.
[4] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III (Jakarta: al-Husna Zikra, 1997), hal. 4.
[5] Masyhud, Diktat: Mata Kuliah Sejarah Dakwah (Surabaya: Ponpes. Hidayatullah, 2010) hal. 54.
[6] Wahyu ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 121-122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar