Senin, 17 Juni 2019

Penyebaran Islam di Nusantara (Indonesia)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencaPenyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatra Utara, abad ke-14 di timur laut MalayaBruneiFilipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.

Awal sejarah

Peta lokasi Kesultanan Samudera Pasai.
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (IndiaChinaArab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslimterutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti PalaCengkihLengkuas dan banyak lainnya.
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara. Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatra UtaraMarco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.

Menurut wilayah

Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang. Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syahmemulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatra dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini. 

Malaka

Didirikan sekitar awal abad ke-10 , negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.

Sumatra Utara


Masjid di Sumatra Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatra Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di BruneiTrengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekertaatas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong PandeBanda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatra didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara Sumatra. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam. Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatra dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatra adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatra dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatra, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan UtsmaniyahSuleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.

Jawa Tengah dan Jawa Timur


Masjid Agung Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha MajapahitLouis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha(sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, IndiaArab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle, mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.

Jawa Barat

Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam. Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan BantenMartin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik." Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunung Jatidiinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.

Daerah lain

Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatra, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.

Legenda Nusantara dan Melayu

Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara. Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini. Sumber-sumber ini termasuk:
  • Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
  • Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
  • Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga("sembilan orang suci").
  • Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi, seperti sunatpengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah,[1]:9 hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di Sumatra dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).
Referensi : 
  1. ^ a b c d e f g h i j k Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.
  2. ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 29–30. ISBN 0-300-10518-5.
  3. ^ http://gernot-katzers-spice-pages.com/engl/spice_geo.html#asia_southeast
  4. ^ a b c Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (1942). "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly2 (1): 48–57. doi:10.2307/2049278JSTOR 2049278.
  5. ^ Nieuwenhuijze (1958), p. 35.
  6. ^ Ricklefs, M.C. History of Modern Indonesia Since c.1200. P.8.
  7. ^ http://www.kitlv.nl/pdf_documents/asia.acehnese.pdf
  8. ^ Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. hlm. 169.
  9. ^ Damais, Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.
  10. ^ Ma Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores' (1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press, 1970
  11. ^ Martin van Bruinessen (1995). "Shari`a court, tarekat and pesantren: religious institutions in the sultanate of Banten"Archipel50: 165–200. doi:10.3406/arch.1995.3069.

Manusia Sebagai Objek Dakwah





MANUSIA SEBAGAI OBJEK DAKWAH

A.    Hakekat manusia sebagai objek dakwah

·         Hakikat Dakwah
Pengertian dakwah bagi kalangan awam disalahartikan dengan pengertian yang sempit terbatas pada ceramah, khutbah atau pengajian saja. Pengertian dakwah bisa kita lihat dari segi bahasa dan istilah. Berikut akan dibahas pengertian dakwah secara etimologis dan pengertian dakwah secara terminologis.

·         Pengertian dakwah secara etimologis
Kata dakwah adalah berasal dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya. kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna yang berbeda-beda setidaknya ada 10 macam yaitu; mengajak dan menyeru, berdo’a, mendakwa, mengadu, memanggil, meminta, mengundang.
Dari makna yang berbeda tersebut sebenarnya semuanya tidak terlepas dari unsur aktifitas memanggil. Mengajak adalah memanggil seseorang untuk mengikuti kita, berdoa adalah memanggil Tuhan agar mendengarkan dan mengabulkan permohonan kita, mendakwa adalah memanggil orang dengan anggapan tidak baik, mengadu adalah memanggil untuk menyampaikan keluh kesah, meminta hampir sama dengan berdoa hanya saja objeknya lebih umum bukan hanya Tuhan, mengundang adalah memanggil seseorang untuk menghadiri acara, malaikat Israfil adalah yang memanggil manusia untuk berkumpul di padang Masyhar dengan tiupan Sangkakala. Kata memanggil pun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia meliputi beberapa makna yang diberikan Al-Quran yaitu mengajak, meminta, menyeru, mengundang, menyebut dan menamakan. Maka bila digeneralkan makna dakwah adalah memanggil.



Definisi dakwah dari literature yang ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah:
  1. Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
  2. Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
  3. Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
4.Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat.

Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.

·         Hakikat Manusia

1.      Pengertian Manusia
Menurut bahasa, manusia itu sendiri berasal dari kata “Nasia” yang artinya lupa. Maksudnya adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah sewaktu di alam ruh. Dalam arti lain, hakikat manusia memang pelupa. Hadits Rasul menjelaskan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Adam. Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera).
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.

2.      Tugas manusia
Tugas manusia di muka bumi berdasarkankan tuntunan Al-Qur’an setidaknya ada dua, yaitu sebagai khalifah dan sebagai ma’bud. Dari dua tugas tersebut, dalam perspektif filsafat dakwah, bisa ditarik suatu benang, bahwa tugas manusia adalah sebagai subjek dakwah (da’i) dan objek dakwah (mad’u). karena pada dasarnya da’i dan mad’u merupakan tugas manusia sebagai wujud dari perilaku ma’bud pula, sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah saw yang pada intinya memerintahkan untuk melaksanakan dakwah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

3.      Subjek Dakwah (Da’i)
Da’i/muballigh adalah setiap orang yang mengajak, memerintahkan orang  di jalan Allah (fi-Sabiilillah), atau mengajak orang  untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi Muhammad SAW. Berhasil tidaknya gerakan dakwah  sangat ditentukan oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud dengan kompetensi da’i adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan prilaku serta keterampilan yang harus dimiliki oleh para da’i, oleh karena itu para da’i harus memilikinya, baik kompetensi substantif maupun kompetensi metodologis.

4.      Objek Dakwah (Mad’u)
Objek dakwah (mad’u) ialah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. As-Saba’: 28).[1]



B.     Karakter objek dakwah berdasarkan sosiologi dan psikolog

·         Dalam Ilmu sosiolog
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sedangkan dakwah secara bahasa (etimologi) adalah seruan, panggilan, undangan atau do’a.
Jadi, Sosiologi Dakwah adalah Ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dengan menggunakan metode – metode yang mencakup individu, keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial, supaya berlandaskan al-Quran dan As-sunnah untuk mewujudkan Islam sehingga terwujud khairul ummah (masyarakat madani).

·         Dalam Ilmu Psikologi
Psikologi berdasarkan kegunaannya ada dua macam, yang pertama psikologi teoritis, yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan untuk gejala-gejala itu sendiri. Yang kedua psikologi praktis/terapan, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu tentang jiwa untuk digunakan dalam praktek. Jika dikaitkan dengan psikologi dakwah, yang mana makna secara sepintas dapat kita definisikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertugas mempelajari atau membahas tentang segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Dari definisi diatas, dapat kita simpulkan  bahwa psikologi dakwah merupakan psikologi praktis atau psikologi terapan, karena penggunaannya lebih pada prakteknya.
Disamping itu pula yang dibahas dalam psikologi dakwah ialah mengenai masalah tingkah laku manusia dilihat dari segi interaksi dan interrelasi serta interkomunikasi dengan manusia lain dalam hidup kelompok sosial, disamping masalah hidup individu dengan kelainan- kelainan watak dan personality, mendapat tekanan-tekanan analisis yang mendasar dan menyeluruh, karena tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial

·         Prilaku Mad’u
Roger menyarakan bahwa cara terbaik untuk memahami prilaku mad’u atau audiens adalah dengan melihatnya dari sudut kerangka acuan internal individu itu sendiri. Cobalah untuk secara empatik memikirkan posisi audiens untuk dijadikan sebagai variable yang berkaitan dengan audiens, ada beberapa pengukuran deskriptif umum dan factor-faktor yang berguna untuk diperhitumgkan dalam menganalisa audiens, yaitu

1.      Usia
Jelas bahasa dalam menghadapi audiens yang rata-rata berusia 10 tahun memerlukan persiapan yang berbeda dengan jika menghadapi audiens yang berusia 40 tahun, walupun masalah yang dibicarakan sama secara psikilogis anak – anak sangat berbeda dengan kelompok audiens dewasa dalam menangkap sebuah makna pesan, dan perbedaan itu sering menjadi masalah.
2.      Jenis Kelamin
Audiens yang terdiri atas 20 orang pria memiliki perbedaan pandangan yang besar dibandigkan audiens dengan 20 orang wanita. Audiens yang terdiri atas 10 pria dan 10 wanita memiliki perbedaan dengan audiens yang homogen. Audiens yang terdiri atas 19 pria dan 1 wanita bisa membuat pembicara mengganti lelucon dan contoh yang diberikan, dan itu bukan karena ada seorang wanita, tetapi harapan 19 pria yang dirasakan pembicara akan disadari pula oleh seorang wanita itu.
3.      Pendidikan
Pendidikan seorang manusia merupakan jumlah keseluruhan pengetahuannya. Sekolah formal sudah diakui merupakan cara tercepat dan system untuk mendapatkan pengetahuan dibandingkan cara lainnya. Oleh karena itu, tingkat pendidikan seseorang bisa menjadi informasi berharga dalam merencanakan pendekatan yang akan digunakan. Bahasa dan kosa kata yang pergunakan harus sesuai dengan tingkat pendidikan audiens. Jenis sekolah yang diikuti juga merupakan salah satu factor yang harus dipertimbangkan. Audiens dengan latar belakang tenik yang cukup tinggi akan memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan yang latar belakang agama atau umum. Jadi, tingkat pendidikan merupakan permasalahan tersendiri.
4.      Pekerjaan
Prosedur menyusun jenis manusia berdasarkan pekerjaanya akan sama rumitnya dengan membuat klasifikasi berdasarkan latar belakang sekolahnya. Namun, informasi mengenai jenis pekerjaan ini cukup bermanfaat kita bisa memperkirakan tingkat pendapatan dan hal lain yang berhubungan dengan itu melalui jenis pekerjaan dan latar belakang pendidikan audiens.





5.      Keanggotaan dalam kelompok Primer
Sebagian besar diantara kita menjadi anggota berbgai kelompok. Sehingga bisa diperkirakan keseragaman audiens acap kali goyah. Sebagai contoh : audiens dalam konvensi politik di Amerika Serikat mungkin mendukung 100%  partai politik atau partai demokrat, tetapi juga bisa terpecah pecah berdasrkan kenggotaan pada kelompok–kelompok seperti agama, keturunan, dan pekerjaan. Hal tersebut sebetulnya bukan masalah bahkan kenggotaan pada kelompok ini bisa membantu perencanaan persiapan menghadapi audiens.

C.    Teknik dakwah berasarkan karakteristik mad’unya

·         Pengertian mad’u
Mad’u adalah manusia yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara keseluruhan.
·         Mengenal Rumpun Mad’u.
Banyak pendapat tentang teknik dakwah berdasarkan karakteristik mad’unya dan bagaimana rumpun mad’u itu, akan tetapi yang sangat mendekati dengan kultur adalah pengelompokan yang dikemukakan dalam literatur ini didasarkan kepada tipologi dan klasifikasi masyarakat yaitu berdasarkan tipologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu :
a)  Tipe inovator, yaitu masyarakat yang memilki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang bersifat membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah, biasanya tipe inovator itu didalmnya terdapat politikus atau masyarakat yang mempunyai organisasi khusus, berdakwah pada kalangan ini dengan menguasai informasi yang terkait didalamnya misalnya dalam politik, audiens yang mempunyai tujuan dan minat yang sama akan cendrung lebih tergerak hatinya
b)  Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan membawa perubahan yang positif. Tipe pelopor ini dialamnya terdapat golongan intelektual seperti mahasiswa, dosen dan ilmuan. Berdakwah dikalang ini harus mengetahui ilmu dibidangnya sesuai dengan audiens yang akan menghadirinya dan menggunakan kata kata yang dapat memotivasi audiens.
c)  Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap dengan resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya kelompok kelas dua di dalam masyarakat bisa disebut juga dengan masyarakat awam pada umumnya, pada tipe ini strategi yang digunakan tidak begitu sulit agar bisa dterima dan di amalkan dengan mengetahui latar belakang lingkungan tempat tinggal dan kebudayaan atau kebiasaan
d) Tipe skeptis, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada anggota masyarakat yangmemandang suatu hal secara tidak pasti, curiga, atau meragukan terhadap sikap pembaharuan, sehingga gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang sesuai untuk masuk. Tipe ini biasanya sering didapati di lingkungan perumahan elite berdasarkan survey dominan hidup masing masing atau tidak bertetangga. Berdakwah pada tipe ini harus dikemas dengan semenarik mungkin dengan mengetahui latar belakang pekerjaan, pendidikan dan lingungan hidup.
e) Tipe kolot, cirri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-benar terdesak oleh lingkungannya. Dapat disebut juga dengan masyarakat pedalaman atau primitf, berdakwah pada tipe ini cukup sulit karena masyarakat pedalaman pada umumnya kental akan prinsip kebudayaan yang mereka hormati dan kepercayaan yang mereka anut sejak dahulu. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengtahui dengan benar tentang kebudayaan yang dianut oleh audiens tanpa bersinggungan dengan kebiasaan yang audiens lakukan