Minggu, 19 Mei 2019

Filsafat Iluminasi Suhrawardi (Filsafat Isyraqiyah)

Filsafat Iluminasi

Kata isyraq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan bersinar, berseri-seri, terang karena disinari, dan menerangi.
Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang membahagiakan.
Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Illuminiation, dalam bahasa Inggris, yang dijadikan padanan kata isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan.


Dalam bahasa filsafat, illuminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyrâqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan satu faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat (ipseity) individual dan tingkat-tingkat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyrâqi. Selanjutnya, tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi.



 Iluminasi dan Peripatetik

Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât, yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda.
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis. Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr, Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.

Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.
Menurut Ziai, Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi. Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub), meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul). Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness) dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif.
Problem Validitas Pengetahuan   
                    
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10). Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal. Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî. Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql. Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui. Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai. Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).

Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif. Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.
Logika Illuminasi: beberapa poin Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).” Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar). Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna. Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif, dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.” Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya “dirasakan.” Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan

Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya. Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan. Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.

Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.


Metodologi Mendapatkan Pengetahuan
Pengetahuan isyraqi, karena objeknya bersifat immanen dan berupa kesadaran, maka cara perolehannya, menurut Suhrawardi, harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama paling tidak 40 hari, berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menertima nur Ilahi dan seterusnya, yang hampir sama dengan laku asketik dan sufistik, kecuali bahwa disini tidak ada konsep ahwâl (keadaan-keadaan) dan maqâmât (station-station) seperti dalam sufi. Melalui aktivitas-aktivitas seperti ini, dengan kekuatan intuitif dalam dirinya yang oleh Suhrawardi disebut sebagai bagian dari ‘cahaya Tuhan’ (al-bâriq al-ilâhi), seseorang akan dapat menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui ilham dan penyingkapan diri (musyâhadah wa mukâsyafah). Dengan demikian, dalam tahap ini terdiri atas tiga hal;
(1) suatu aktivitas tertentu,
(2) suatu kondisi dimana seseorang menyadari kemampuan intuisinya sendiri sampai mendapatkan kilatan ketuhanan,
(3) ilham.
Kedua, tahap penerimaan, dimana Cahaya Tuhan memasuki diri manusia. Cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian ‘cahaya penyingkap’ (al-anwâr al-sânihah), dimana dengan lewat ‘cahaya-cahaya penyingkap’ tersebut, pengetahuan yang berperan sebagai pengetahuan yang sebenarnya (al-ulûm al-haqîqah) dapat diperoleh.
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang valid (al-ilm al-shâhih) dengan menggunakan analisi diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digariskan dalam Posterior Analytics Aristotelss. Sedemikian, sehingga dari situ bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalamannya itu sendiri sudah berakhir. Hal yang sama juga diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan inderawi, jika berkaitan dengan pengetahuan illuminatif.
Keempat, tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya, dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain. Namun, bagi pengikut jalan illuminatif, ia harus melalui dua tahap pertama lewat pengalaman langsung, sebelum mendiskusikan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang diselidiki dan digambarkan.
Dengan demikian, perolehan pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih segala sesuatu yang tidak tergapai oleh kekuatan rasio, sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.
Berdasarkan perbedaan metode yang menghasilkan tingkat validitas keilmuan ini, Suhrawardi membagi para pencari ilmu dalam empat tingkatan. (1) Para pencari ilmu yang mulai merasakan kehausan ma`rifat, yang pada putaran beriutnya memajukan diri untuk membahas filsafat. (2) Para pencari yang telah memperoleh ilmu secara formal dan telah sempurna mempelajari filsafat pembuktian (burhani) tetapi masih asing dari pengetahuan yang sesungguhnya. Dalam pandangan Suhrawardi, al-Farabi dan Ibn Sina termasuk tingkatan ini. (3) Para pencari yang belum merasa puas dengan bentuk-bentuk ma`rifat secara mutlak tetapi telah membersihkan diri mereka sehingga mencapai derajat perkiraan akal dan illuminasi batin, seperti al-Hallaj, Yazid Bustami dan Tustari. (4) Para pencari yang telah menamatkan filsafat pembuktian sebagaimana mereka mengetahui tahapan illuminasi atau pengetahuan. Pada tahap-tahap ini, individu meningkat pada apa yang dinamakan ‘Ahli Hikmah Ketuhanan’ seperti pada Pyithagoras dan Plato. Suhrawardi sendiri masuk dalam tingkatan ini
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demokrasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai fakta positif yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika, Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni, sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city. Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. 
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul). Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini.

Contoh Surat Pernyataan Keaslian Penyerahan Hak Cipta Naskah


SURAT PERNYATAAN KEASLIAN NASKAH DAN
PERNYATAAN PENYERAHAN HAK CIPTA NASKAH


Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama*
:
Institusi*
:
Email*
:
No. HP/WA*
:
Tempat Tanggal Lahir*
:
Alamat*
:




Judul Artikel
:




Saya menyatakan bahwa artikel tersebut di atas merupakan naskah asli, hasil pemikiran sendiri, bukan terjemahan/saduran, dan belum pernah dipublikasikan di media apapun. Artikel ini tidak sedang saya submit ke jurnal lain. Saya bersedia bertanggung jawab jika kelak terdapat pihak tertentu yang merasa dirugikan secara pribadi dan atau tuntutan hukum atas diterbitkannya artikel ini.

Saya juga menyerahkan hak milik atas naskah tersebut kepada Al Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis yang diterbitkan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup dan oleh karenanya redaksi berhak memperbanyak dan mempublikasikan sebagian atau keseluruhannya.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.


……………, ………………. 20
Penulis

Materai 6.000
 
 




(…………………..)


*Tuliskan data penulis utama

Pro Dan Kontra Poligami


Pernikahan memang sesuatu yang di damba-dambagakan bagi setiap orang, menikah dengan orang yang tepat dan juga dengan orang yang benar memang kita inginkan menjadi pasangan dalam hidup kita tentu akan membuat pernikahan kita tersa lebih indah,
Dengan ikrar  yang ingin menua bersama, saling mencintai satu sama lain, sudah merupakan hal yang lazim di ucapkan oleh kedua pasangan,
Pernikahan yang indah dan juga bahagia itu di bangun sendiri oleh insan yang menjadi tokoh atau pemeran dalam pernikahannya,
Menjadi seorang istri yang begitu di sayang oleh seorang suami sangat lah membahagiakan

Namun apa jadinya jika suatu pernikahan itu di campuri oleh orang ke tiga, dan istripun tidak lagi menjadi satu-satunya ratu untuk rajanya.


Fenomena ini lah yang terjadi saat ini praktek poligami yang sering dilakukan oleh para suami dan menghadirkan ratu-ratu lain dalam istana nya.
Jika sudah seperti ini apa mungkin kedamian dalam rumah tangga bisa di capai,..?
Dan bagaimana berpoligami menurut islam yang benar dan apa hukum nya berpoligami dalam pandangan islam.


MONOGAMI DAN POLIGAMI

Pengertian Monogami dan Poligami

Perkataan monogami berasal dari bahasa yunani mono dan gamein, yang artinya perkawinan hanya dengan satu istri,sedangkan perkataan poligami yang terdiri dari dua pokok kata, yaitu polu dan gamein.polu berarti banyak gamein berarti kawin, jadi poligami berarti perkawinan yang banyak.

Poligami adalah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.
Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami.
Poligami sama dengan poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan. Hanya saja, istilah poligami lebih umum digunakan ditengah-tengah masyarakat.

Seperti dikemukakan oleh Sidi dan Gazalba, bahwa poligami ialah perkawinan antara seseorang laki-laki dan wanita lebih dari satu orang.
Lawanya poliandri, yaitu perkawinan antara seseorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri.
Tetapi, karena polgini banyak dilakukan. Terutama di Indonesia dan Negara-negara yang memakai hukum islam, maka tanggapan tentang poligini ini sama dengan poligami.

Perkawinan dalam islam pada dasarnya menganut sistem monogami, ya itu pernikahan yang hanya memilik satu pasangan hidup.


Poligami dari Masa ke Masa


Masalah poligami sama tuanya dengan sejarah peradaban dan kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum agama islam datang.
Poligami itu dilakukan oleh hampir seluruh suku bangsa dan agama yang ada di dunia, baik itu ditimur maupun di barat, tidak terkecuali oleh orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Bukti sejarah bahwa poligami sudah dilakukan dan berjalan lama sebelum kedatangan atau kelahiran islam antara lain:

>Nabi Yakub

>Nabi Daud, dan
            >Nabi Sulaiman mempunyai banyak istri.
            >Nabi Ibrahim juga mempunyai 2 orang istri yakni Hajar dan Sarah.

Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman, dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama Masehi. Poligami mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa istrinya.

Ahli piker Inggris Harbert Spenser di dalam bukunya
ilmu Masyarakat menjelaskan, sebelum islam datang wanita itu diperjual belikan atau digadaikan dan dipinjamkan hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.Pada 1650 M, Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan edaran tentang diperbolehkannya seseorang laki-laki mengumpulkan 2 orang istri. Surat edaran itu dikeluarkan karena berkurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus.


Kebanyakan umat terdahulu dan agama-agama sebelum islam memperbolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai berpuluh-puluhan wanita, bahkan ada yang sampai berates-ratus orang. Maka, setelah islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini di batasi dan dengan syarat-syarat tertentu terutama syarat keadilan.

Dengan ini jelas, poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum islam datang.
Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu maka islam melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasull membenahi dan mengadakan penataan terhadap tradisi atau adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang mempunyai nilai-nilai menjunjung tinggi martabat manusia, termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat manusia. Walaupun sebenarnya keadilan itu sangat sulit untuk dilaksanakan.


Hukum Poligami dalam Islam


Pada dasar nya berpoligami dibolehkan dalam islam dasar hokum tentnag poligami desebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا



dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.


Menurut Mahmud Syaltur, hokum poligami adalah Mubah.
Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika terhadap kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang khawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri 1 orang saja. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan, yaitu penganiayaan terhadap para istri.

Muhammad Rasyid Ridho membolehkan poligami dalam keadaan memaksa atau darurat beliau mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain;
1.      Istri Mandul
2.      Istri mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya memberikan nafkah batin.
3.      Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa sehingga istrinya Haid beberapa hari saja dikhawatirkan dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.  


Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan,terlihat bahwa kebolehan berpoligami terkait erat dengan berbagai persyaratan tertentu dan faktor kondisi seseorang.
Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai Hukum positif yang berlaku umum bagi seluruh
Alasan yang dijadikan dasar oleh seseorang suami untuk melakukan poligami atau beristri lebih dari seorang adalah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat ( 2 ) undang-undang tersebut adalah
1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami untuk melakukan poligami sebagai mana disebut dalam pasal 5 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 adalah sebagai berikut
1.      Adanya persetujuan Istri/istri-istri.
2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
Kontroversi di Sekitar Poligami

Para ulama klasik dari kalangan mufasir maupun faqih berpendapat, berdasarkan
Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3 laki-laki muslim dapat menikahi 4 perempuan tafsir ini telah mendomonasi pandangan seluruh umat islam
tetapi, Muhammad Abduh ( 1849-1905 )
tidak sepakat dengan penafsiran itu.
Menurutnya diperbolehkannya poligami karena keaadaan memaksa pada awal islam muncul dan berkembang.
Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah.
Maka, sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu islam masih sedikit sekali pemeluknya dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk islam dan memengaruhi sanak saudaranya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antar suku yang mencegah peperangan dan konflik .

Kini keadaan telah berubah. Poligami papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan kebencian, dan pertenkaran para istri dan anak.
Efek psikologi bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk meras tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan didik dalam suasa kebencian karena konflik itu.
Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
Pada akhir tafsirnya Abduh menyatakan tidak diperbolehkan nya berpoligami karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dimiliki manusia.

Selanjutnya beliau menjelaskan 3 alasan tidak dibolehkannya poligami
Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil.
Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab allah sudah jelas mengatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nissa’ ayat 129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil.
Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk member nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Mereka tumbuh dalam kebencian pertengkaran sebab ibu mereka bertengka, baik dengan suami maupun dengan istri yang lain.
Pada akhir patwanya ia meminta para hakim, ulama, dan pemerintah melarang poligami Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang bisa berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tidak dapat dijadikan patokan. Sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. Abdul membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Ulama asal mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami adalah praktik masyarakat arab sebelum kedatangan islam.
Dr. Najman Yasin dalam kajian mutakhirnya tentang perempuan pada abad pertama hijrah (Abad ke 7 M) menjelaskan, memang budaya arab para islam mengenal institusi pernikahan tak beradap dimana laki-laki dan perempuan mempraktikan poliandri dan poligami.

Kedua, Pernikahan istibda,yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak.jika istri hamil oleh lelaki itu dan dan lelaki itu suka,lelaki itu boleh menikahinya.jika tidak,jika tidak perempuan itu kembali lagi kepada suaminya.pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan keturunan.
 

Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu  (antara 2 hingga 9 orang) setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan bapak anak itu.

Keempat, pernikahan poliandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapapun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul dan sianak ditaruh disebuah tempat lalu akan berjalan mengarah kepada salah seorang diantara mereka, dan orang yang dituju itulah bapaknya.

Kelima, pernikahan warisan,artinya, anak laki-laki mendapatkan warisan dari bapaknya, yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal

Keenam, pernikahan paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapatkan uang dan makanan. Prnikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu kembali lagi krepada suaminya

Ketujuh, pernikahan tukar guling, yaitu suami istri mengadkan saling tukar pasangan .Praktik pernikahan Arab pra islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafah Ar-Rasyidhin.

Poligami yang termasuk dalam surat An-Nisa’ ayat 3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliyah sebagaimana disebutkan diatas. Oleh karena itu, tepat kiranya Thaha Husain menyatakan dalam bukunya fi syir al-jahil bahwa fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan, dan menyedihkan, dan Al-Qur’an merekamnya melalui teks-teksnya dan masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al-Qur’an merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.
Artinya poligami adalah hal yang biasa dan lazim dilakukan dilakukan ditengah-tengah masyarakat umum.
Posisi Indonesia dalam hal ini dapat dilihat dengan diberlakukanya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. Undang-undang ini diperkuat dengan keluarnya UU No.07 tahun 1989 tentang pengadilan agama, khususnya pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi hukum islam semakin memperjelas kebolehan pelaksanaan poligami di Indonesia. Walaupun persyaratan untuk poligami demikian ketat realitasnya adalah lain sekarang, ditengah banyaknya orang yang melakukuan poligami, yang menjadi masalah bukan lagi sistem mana yang paling baik, Monogami atau poligami, karena pada umumnya akan mengatakan monogamilah yang lebiih baik. Persoalanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang menuntut terjadinya poligami manakah yang akan dipilih apakah menerima dan menjalankan poligami secara resmi, atau dengan memaksakan monogamy secara hokum tetapi berpraktik poligami, atau malah menolak poligami sama sekali tetapi melkukannya affair secara terselubung.Alasan poligami seringkali dikaitkan dengan perzinahan dan perselingkuhan. Orang yang melakukan poligami beralasan karena takut terjerumus kepada perzinahan.

Agus Mustofa merasa heran kenapa alasan poligami selalu dikaitkan dengan perzinahan dan perselingkuhan padahal didalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat yang mengaitkan bolehnya melakukan poligami disebabkan alasan-alasan takut terjadinya perzinahan dan Perselingkuhan.

Agaknya, telah terjadi reduksi pemahaman tentang makna poligami dalam konsep islam. Dari alasan-alasan yang bersifat sosial politik menjadi alasan-alasan yang bersifat seksualitas. Menurut Agus, hal ini harus diluruskan karena telah memunculkan persepsi dan pandangan yang sangat rancu, keliru, dan menyesatkan umat.
Menurut pengamatan Agus, dari sekian ‘ayat syahwat’, tidak ditemukannya terkaitannya terhadap poligami. demikian pula sebaiknya, ayat-ayat poligami tidak dikaitkan dengan ayat-ayat syahwat. kata syahwat didalam Al-Qur’an hanya ditemukan 2 kali. Dan menariknya
digunakan untuk mengambarkan dorongan yang seksual yang menyimpang, seperti homosek.

Firman Allah surat An-Naml Surah 27 ayat 55      

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)".

Kemudian firman Allah Swt. Dalam surat Al-A’raf(7) ayat 81

  إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.

Nabi dan Monogami


Dalam hadis yang diriwayatkan bukhari,Muslim,Tirmidzi,dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad Saw. Marah ketika beliau mendegar putrinya Fatimah akan dipoligami oleh Ali bin Abu Thalib.
Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan menyampaikan pidato, “ keluarga Bani Hasyim bin Al-Mukhira telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abu Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi, saya tidak mengizinka sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya terlebih dahulu”.
Kemudian Nabi Muhammad Saw melanjutkan,
“Fatimah adalah bagian dariku, apa yang mengganggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga.”
Akhirnya, Ali
  bin Abu Thalib tetap Monogami hingga Fatimah wafat.
Timbul pertanyaan bagaimana kenyataan Nabi sendiri Berpoligami..?

Bahkan, ini sering dijadikan alasan seorang lelaki untuk berpoligami, yaitu
ittibah’ (mengikuti ) jejak Rasullah Saw.
Kalau kita menyimak perkawinan beliau, dapat disimpulkan pada hakikatnya Nabi Monogami selama sebagian besar masa perkawinannya.
Beliau menikah selama 38
th dan 28th di antaranya dihabiskan hanya dengan khadijah dalam perkawinan yang sukses dan membuahkan putra-putri.
Beliau sangat mencintai khadijah dan setia kepadanya sehingga
  tahun khadijah wafat disebut ‘am al-hazn (tahun berduka).  2 tahun setelah khadijah wafat,baru nabi berpoligami.
Dari sekian istri, hanya Aisyah yang gadis.



 
Kekerasan Psikologis
Poligami menyimpan banyak persoalan. Salah satunya membisukan suara hati perempuan selama ini poligami hampir selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki. Poligami membuat mereka di khianati dan direndahkan, serta menjadikan mereka merasa takberdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan yang sudah mengorbankan identitas dan integritas demi menopang suami dalam meniti tangga menuju status sosial dan kedudukan yang lebih tinggi, tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk mengembanagkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini, setelah memberikan bakti kepada suami dan pada usia senja, dengan ketrgantungan emosional dan financial terhadap suami, dia harus menerima kenyataan pahit itu. Banyak perempuan memilih bercerai daripada di poligami. tetapi, lebih bnayak yang memutuskan tetap berada dalam perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan,seperti demi anak, stigma sosial terhadap janda, ketergantungan financial,dan sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa seperti cemburu.

Problem Penafsiran
Perbedaan penafsiran ayat poligami yaitu Al-Qur’an surat An-NIsa’ ayat 3 sudah banyak diwacanakan. Inti utama perbedaan penafsiran adalah pandangan terhadap keabsolutan instuisi poligami. ayat poligami turun setelah perang Uhud, ketika banyak sahabat banyak wafat dimedan perang. Ayat ini memugkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka dan hartanya dengan penuh keadilan. Ayat selanjutnya, yaitu ayat 129, secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Ayat ini dapat disimpulkan, islam pada dasarnya menganut Monogami. Namun pendukung poligami berpendapat sebaliknya. Karena tidak mungkin seorang laki-laki berlaku adil lahiriah dan batiniah kepada istri, maka sikap adil itu hanya sebatas kemampuan mereka sebagai manusia, salah satu misi utama islam adalah membebaskan mereka yang tertindas dan membawakan keadilan bagi mereka. Revolusi yang dibawa islam adalah peningkatan status perempuan menjadi sepenuhnya setara dengan laki-laki, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai wakilnya dibumi.
Pasal 55 sampai pasal 59 kompilasi hokum islam(KHI) menetapkan syarat ketat bagi laki-laki yang berpoligami. Pasal 55 ayat 2, misalnya, menyebutkan lelaki yang akan poligami harus adil kepada istri dan anaknya. Sedangkan pada ayat 3 menyebutkan jika tidak adil, orang tersebut dilarang berpoligami. Pasal 57 menyebutkan tiga kondisi yang memperbolehkan lelaki berpoligami: istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri atau sakit yang tak dapat disembuhkan atau mandul.

Maqashid Al-Syari’ah

Tidak adanya larangan yang tegas terhadap poligami, karena ulama dan umat islam berpatokan kepada Al-Qur’an surat An-Nissa’ ayat 3 yang mengisyaratkan kebolehan poligami. semua hukum islam mempunyai tujuan ( Maqashid Al-Syari’at) menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama hukum islam.
Oleh karena itu, Alal Al-Fasih, ulama pembaru dan tokoh Nasionalisme Maroko dalam Maqaashid Al-Syari’at Al-Islamiat Wa Makariniha, mengajukan tiga alasan mengapa poligami harus dilarang tegas.
>Pertama
mencegah akibat buruk oleh perorangan untuk mencegah akibat buruk yang leih besar. Artinya, kemaslahatn umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Dampak negative yang besar itu adalah merugikan citra islam jika islam berbicara peningkata derajat wanita, itu tidak akan tercapai dengan adanya poligami.

>Kedua,
mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan dari pada menarik manfaat.

>Ketiga,
perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan kemaslahatan nya.

Pada masa Nabi, dibolehkan nya poligami hingga 4 untuk melindungi anak yatim piatu.
Jika keadaan perempuan kini lebih baik, yaitu sederajat dengan pria dan harta gadis yatim piatu bisa diatur lembaga keuangan professional, konsekuensinya logisnya poligami tidak boleh.








Senin, 13 Mei 2019

Contoh Menulis Berita




MENJELANG AKHIR TAHUN HARGA BAHAN POKOK NAIK
CURUP- Menjelang akhir tahun, harga beberapa kebutuhan bahan pokok atau sembako melonjak dratis.selain beras,harga cabai merah ,dan tomat mengalami kenaikan.
Harga beberapa kebutuhan pokok yang naik di pasar diantaranya beras, cabai merah dan tomat.Harga beras kualitas sedang yang biasanya dijual Rp.14.000-Rp.15.000 per satu liter nya, saat ini harga nya melonjak hingga Rp.17.000 per liternya. Bahkan, beras kualitas terbaik yang dulu harga nya Rp.18.000, naik menjadi Rp.20.000.
Cabai merah dan tomat yang menjadi salah satu bumbu dapur yang menjadi kebutuhan masyarakat  kini harga nya pun ikut melambung. Cabai merah yang biasanya di jual Rp.30.000 sekarang naik hingga Rp.35.000 per kilogram (kg). Tomat yang semula hanya Rp.5000 sekarang naik Rp.10.000 per kilogram (kg).
Naik nya harga beberapa bahan pokok di pasaran disebab kan oleh faktor cuaca yang buruk. Salah satu pedagang Nurhayati menuturkan.  “Mungkin karno cuaca hujan ko dak, barang-barang jadi naik karno barang nyo kurang kan”.
Harga bahan pokok yang mengalami kenaikan yang cukup dratis  membuat masyarakat mengeluh dengan kondisi tersebut.
“cabe lah naik, tomat jugo naik, dulu kalu beli tu sekali banyak sekilo,duo kilo kini dak berani endak ngambik banyak paling belinyo dikit-dikit cak setengah kilo” ujar Sumarni seorang ibu Rumah Tangga yang di temui di pasar tradisional pasar atas.





CURANMOR MASJID MENGGANGGU KEKUSYUKAN JAMA’AH
REJANG LEBONG-  23 November 2018 masyarakat Sukaraja kecamatan curup timur dihebohkan dengan aksi  pencurian sepeda motor milik salah satu jama’ah.
Jum’at subuh dini hari warga kelurahan Sukaraja belakang kecamatan curup timur dihebohkan dengan kejadian pencurian sepeda motor ,pasalnya peristiwa terjadi ketika sedang melaksanakan sholat subuh secara berjama’ah
Aldo(25th) yang merupakan korban pencurian sepeda motor miliknya ,Beat dengan Nopol BD.3055.KI. mengungkapkan bahwa ia tidak tahu betul kapan dan siapa pelaku dari pencurian sepeda motor miliknya, ketika selesai melaksanakan ibadah sholat subuh sepeda motor miliknya tidak ada lagi ditempat, dia berharap pihak kepolisian agar dapat menindak lanjuti musibah yang menimpa dirinya itu.
            Salah satu pengurus masjid  H.Surani warsito  M,kes, mengungkapkan bahwa kejadian ini buaknlah yang pertama kalinya terjadi, dalam bulan ini saja lebih kurang ada 4 sepeda motor milik jama’ah yang hilang, padahal masjid sudah dilengkapi pengaman CCTV, namun hal ini tidaklah dapat mengetahui siapa pelaku pencurian tersebut. Setiap peristiwa pencurian di masjid ini sudah dilaporkan ke pihak kepolisian tapi usaha itupun belum membuahkan hasil dan pelaku curanmor masih saja menjalankan aksinya.
Beliau menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk lebih berhati-hati dan memasang kunci ganda ketika hendak melaksanakan ibadah sholat karena pelaku selalu mengintai lokasi-lokasi yang memudahkan mereka dalam melaksanakan aksinya. Oleh karena itu kewaspadaan adalah kunci dari kenyamanan.
Masyarakat berharap kepada pihak kepolisian agar dapat memberikan keamanan serta kenyamanan bagi seluruh masyarakat untuk beribada tanpa adanya gangguan-gangguan dari spesialis curanmor masjid.
           
















Efek Tayangan Kekerasan dan Tahayul dalam Media Massa


Efek Tayangan yang di tampilkan Media Massa
            Saat ini peran media massa dalam masyarakat sangat besar fungsi dan manfaatnya, banyak efek positif yang di dapat dari media massa, baik itu mudah nya dalam mengakses informasi, menyebarkan informasi dan sebagainya. Namun disamping itu media massa pun memberikan efek negative yang cukup besar dalam lingkungan masyarakat, contohnya saja banyak pelecehan seksual yang dilakukan menggunakan media massa, tindakan kriminal bahkan berujung pembunuhan yang bermula dari media massa.
Kali ini saya akan membahas mengenai dampak tayangan kekerasan dan tayangan mistis/ tahayul yang ditamppilkan media massa.

1.       Efek tayangan kekerasan yang di tampilkan media massa
Banyaknya tayangan yang di tampilkan media massa kepada khalyak umum tentu menimbulkan berbagai efek dari khalayak tersebut, tentu bukan hanya efek positif  saja yang di terima namun efek negative pun tentu ada dalam setiap tayangan yang di tampilkan dalam media massa.kekerasan merupakan tindakan yang tidak pantas dilakukan jika tidak memiliki alasan yang kuat dan jelas. Adapun dampak /efek tayangan kekerasan yang di tampilkan media massa sebagai berikut.
Efek Positif
·         Dengan tayangan kekerasan yang di tampilkan media massa seperti tayangan pelecehan seksual, pembunuhan. Hal tersebut  bisa membuat kita untuk  lebih berhati-hati dan selalu menjaga keselamatan diri
·          Membantu kita mengenali jenis-jenis kekerasan dan pencegahan nya
Efek Negatif
·         Kecenderungan untuk meniru sesuatu yang di tonton nya. Contohnya seorang anak yang terbisasa menonton kartun yang terdapat unsur kekerasan nya tentu akan membuat anak tersebut menirukan apa yang di tonton nya seperti berkelahi dan nantinya akan timbul kecendrungan bahwasanya kekerasan hal yang biasa dilakukan
·         Menambahnya angka kematian pada anak-anak, mengapa tayangan kekerasan bisa mebuat sesorang terbunuh pasalnya jika seorang anak menirukan apa yang ia tonton contoh seorang anak senang menonton spiderman tentu dirinya akan berpikir bahwa spiderman mempunyai kemampuan yang hebat bisa mengeluarkan jaring dan bisa terbang yang mana hal itu dianggap sebuah kisah yang nyata dan pada akhirnya anak itu akan mencoba hal tersebut. Hal ini pernah terjadi di Negara Amerika dimana seorang anak yang menggap dirinya bisa terbang melakukan hal konyol dengan lompat  dari apartemen  nya.
·         Mempengaruhi prilaku agresif remaja
·         Membuat semakin banyaknya tindakan kekerasan karena mereka meniru apa yang mereka tonton.

2.      Efek tayangan mistik/ tahayul yang di tampilkan media massa
Mistik berasal dari bahasa yunani mystikos yang artinya rahasia Mistik bisa dikatakan suatu paham atau keperceyaan yang rahasia (sulit di ketahui kebenarannya ) .saat ini banyak media-media yang menampilkan tayngan-tayangan mistik seperti  masih dunia lain,mesteri gunung berapi. Hal ini tentu terdapat dampak bagi siapapun yang menonton nya
Berikut beberapa dampak tayangan mistik/ tahayul
Efek  Positif
Dalam tayangan mistik/ tahayul biasanya mereka mengupas sejarah yang ada pada suatu tempat walaupun hal tersebut belum dikethaui kebenarnya, tetapi dengan hal tersebut kita sedikit tau sejarah-sejarah dari tempat yang ditayangkan nya
Efek  negative
·               Kerusakan pada kognitif masyarakat terutama anak-anak .
·               Berpengaruh terhadap psikologi seseorang, sesorang yang terlalu banyak menonton hal-hal yang mistik akan membuatnya merasa ketakutan yang luar bisa
·               Membuat masyarakat lebih percaya terhadap mistik dari pada hal fakta dan semuanya akan dikaitkan dengan hal-hal mistik/  tahayul