Biografi dan
pendidikannya
Nama lengkapnya
adalah Syihabuddin Yahya Ibn Amirak Abu Al-Futuh Suhrawardi.
Ia lahir di sebuah
kota kecil yang bernama Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M.
Ia
wafat di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.
Sejak kecil ia sudah rajin belajar
secara tekun seperti halnya para ilmuwan sebelumnya.
Ia pernah belajar kepada seorang
faqih dan teolog terkenal yang bernama Majduddin Al-Jaili, guru Fakhruddin
Al-Razi. Kemudian di Isfahan dia belajar logika kepada Ibnu Sahlan Al-Sawi,
penyusun kitab Al-Basha’ir Al-Nashiriyyah. Selain itu ia juga banyak bergaul
dengan para sufi, hingga ia puas bergaul dengan mereka, ia pun pergi ke Halb
dan belajar keapada Al-Syafir Iftikharuddin. Di kota ini namanya mulai
terangkat, akhirnya ia pun terkenal akan keilmuannya. Hal ini membuat para
fuqaha iri terhadapnya, dan ada pula yang ingin mengecamnya. Atas dasar ini, ia
segera dipanggil Pangeran Al-Zhahir putranya Salahuddin Al-Ayubi, ketika itu
bertindak sebagai penguasa di Halb. Pangeran kemudian melangsungkan suatu
pertemuan dengan dihadiri para teolog maupun fuqaha. Di sini ia mengemukakan argumen-argumentasinya
yang kuat, karena terlihat sebuah aura kepintaran dari diri Suhrawardi,
akhirnya al-Zhahir menjadi dekat dengannya, dan ia pundiberisambutan yang baik
dari Al-Zhahir.
Karena ketenarannya dan
popularitasnya di kala itu, hal tersebut membuat sebagian orang menjadi dengki
terhadapnya, akhirnya orang-orang yang dengki melaporkan kepada Salahuddin
Al-Ayubi dengan sebuah peringatan bahwa ”jika Al-Zhahir terus menerus bergaul
dengan Suhrawardi maka akan sesat aqidah yang dimilikinya. Setelah mendengar
asutan-asutan dari orang-orang dengki tersebut, akhirnya Shalahuddin
terpengaruh dan memerintahkan putranya untuk segera membunuh Al-Suhrawardi.
Setelah putranya meminta pendapat para fuqaha Halb, mereka menyetujui agar
Suhrawardi di bunuh, Al Zhahir pun memutuskan agar Al-Suhrawardi dihukum
gantung. Penggantungan ini berlangsung pada tahun 587 H di Halb, ketika
Al-Suhrawardi baru berusia 38 tahun.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa; Proses kematian itu diawali dengan permintaan
para ulama yang meminta Malik Az-Zahir agar menjatuhkan hukuman mati kepada
As-Suhrawardi, namun permintaan itu ditolak.
Para ulama kemudian menemui Sultan
Saladdin (Sultan Salahuddin Al Ayubi) untuk menyampaikan dakwaan itu. Sultan
Saladdin lalu mengancam putranya (Pangeran Malik Az-Zahir Ghazi) akan
diturunkan dari tahta apabila tidak menghukum As-Suhrawardi. Berkat turun
tangannya Sultan Saladin, As-Suhrawardi kemudian dimasukkan ke dalam penjara
pada tahun 1191 M. Dalam penjara itulah, As-Suhrawardi wafat. Dalam hal ini
yang yang mengatakan bahwa ia wafat karena lehernya dicekik dan ada pula yang
mengatakan bahwa ia wafat karena tidak diberi makan hingga kelaparan.
Ia wafat secara tragis melalui eksekusi atas perintah Shalahuddin Al-Ayubi.
oleh sebab itu ia di beri gelar Al-Maqtul (yang dibunuh), sebagai pembedaan
dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Al-Najib Al Suhrawardi (meninggal tahun 563
H) dan Abu Hafah Syihabuddin Al Suhrawardi Al Baghdadi (meninggal tahun 63 1
H), penyusun kitab Awarif Al Ma’arif.
Karya-Karya Al Suhrawardi
Al-Suhrawardi merupakan seorang penulis, walaupun usianya muda, tetapi banyak
juga karya-karya dari hasil ciptaannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu
seorang filosof muslim yang handal dalam membuat sebuah ungkapan-ungkapan dari
pikirannya sendiri.
Di samping itu, Al Suhrawardi juga mampu memadukan antara filsafat Aristoteles
dan filsafat iluminasi yang ia kembangkan sebagai basis ulama filsafat dan
tasawufnya. Dengan paduan ini, Suhrawardi menganggap bahwa seorang pengkaji
teologi lebih unggul daripada seorang pencinta Tuhan an sich. Hal ini dapat
kita lihat dalam ungkapannya, ”jika dalam waktu yang sama seseorang menjadi
pencinta Tuhan dan pengkaji teologi, dirinya telah menduduki derajat
kepemimpinan (riyasah). Jika tidak dapat memadukannya, derajatnya hanyalah
seorang pengkaji teologi atau seorang pencita Tuhan, tetapi tidak mengkaji-Nya.
”pemikiran inilah yang menggambarkan bahwa Suhrawardi bukanlah seorang sufi
murni, melainkan seorang sufi dan sekaligus filsuf, bahkan sangat dekat dengan
para filsuf peripatetik yang sering diserangnya.
Kemudian Al Suhrawardi membuat banyak karya, dan dari karya-karyanya dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain :
Karya Pertama adalah Kitab induk Filsafat Iluminasinya, antara lain :
1. At-Talwihat (Pemberitahuan),
2. Al-Muqawwamat (Yang Tepat),
3. Al-Masyari wa Al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman),
4. Al-Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
Karya Hikmah al-Ishraq memuat tiga subyek yang mendasari bangunan filsafat
iluminasinya, yaitu:
Mengenai alasan-alasan Suhrawardi menyusun Hikmat al-Ishraq
Metodologi Hikmat al-Ishraq, yang
terdiri atas empat tahap, yaitu:
i. Aktifitas-aktifitas diri seperti
menasingkan diri, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima
ilham. Dalam hal ini filosof dengan kekuatan intuisinya dapat merasakan “Cahaya
Tuhan” dan “Penyikapan Diri”.
ii. Tahap dimana
Tuhan memasuki wujud manusia.
iii. Tahap pembangunan suatu ilmu yang benar.
iv. Tahap penulisan
atau menurunkan hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi.
Memuat hal-hal yang mendasari bangunan filsafat iluminasi, yaitu pandangan
Suhrawardi tentang sejarah filsafat.
Karya Kedua adalah
risalah ringkas filsafat, antara lain:
1. Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
2. Al-Alwah Al-Imadiyah (Lembaran
Imadiyah)
3. Partaw-Namah (Uraian Tentang Tajalli),
4. Bustan Al-Qulub (Taman Kalbu). Selain berbahasa Arab, risalah ini ada juga
yang ditulis dalam bahasa Persia.
Karya ketiga berupa kisah perumpamaan, antara lain:1. Qishshah Al-Gurbah Al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat),
2. Risalah Ath-Thair (Risalah Burung),
Buku ini banyak membahas karya Ibnu Sina, yakni kitab Isyyarah wa Tanbihat.
3. Awz-i pari-i Jibra’il (Suara Sayap Jibril),
4. Aql-i-surkh (Akal Merah),
5. Ruzi ba Jama’at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi),
6. Fi Haqiqah at-Isyaq (Hakikat Cinta Ilahi), Pembahasan buku ini juga tentang
filsafat Masyriqiyah Ibnu Sina.
7. Fi Halah Ath-Thufuliyyah,
8. Lugah Al-Muran (Bahasa Semit),
9. Safir-i Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki nilai sastra
yang tinggi.
Pemikiran Surahwardi: Filsafat Iluminasi
Dalam bagian ini akan membahas metafisika dari filsafat iluminasi, namun
sebelum membahas metafisika dari filsafat tersebut, maka akan dibahas
pengertian filsafat iluminasi/isyraq, istilah-istilah kunci dan sumber-sumber
pengetahuan yang membentuk pikiran isyraqi Suhrawardi. Agar tidak terjadi
kekaburan pemahaman dalam memahami filsafat iluminasi tersebut.
Kata isyraq dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan sekaligus
juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur (sharq).
Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya
digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan
lain-lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang
keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita.
Timur tidak hanya berarti secara geografis tetapi awal cahaya,
realitas.
Dalam sistem filsafat iluminasi
Suhrawardi menurunkan sejumlah istilah kunci bagi pemahaman sistem logika,
epistemologi, fisika, psikologi, dan metafisika. Untuk epistemologi atau teori
ilmu pengetahuan, Suhrawardi menurunkan istilah qa’idah al-isyraqiyyah, dan
terhadap kandungan filsafat ia menyebut daqiqah al-isyraqiyyah. Melalui istilah
ini Suhrawardi merumuskan kembali pemikiran tentang logika, epistemologi,
fisika dan metafisika. Istilah lain yang diturunkan ialah musyahadah
al-isyaqiyyah (penyaksian dengan pencerahan) untuk menyebut tahap terakhir
pencapaian pengetahuan hakiki. Selain istilah tersebut, Suhrawardi juga
menurunkan istilah idafah al-isyraqiyyah (kaitan pencerahan) untuk menguraikan
hubungan tak terduga yang timbul antara subyek (maudu’) dan asas logis teori
pengetahuannya.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran
isyraqi Suhrawardi terdiri atas lima aliran, yaitu:
pertama,
pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj dan al-Ghazali.
Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan
antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran
iluminasi Suhrawardi.
Kedua, pemikiran filsafat peripatetik Islam,khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagiannya tetapi ia
memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi.
Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Phithagoras, Platonisme
dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan
disebarkan di Timur dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan
aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
Keempat, pemikiran-pemikiran
(hikmah) Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya
bencana taufan yang menimpa kaum Idris (Hermes). Kelima, berdasarkan pada
ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan,
khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian ditambah dengan istilah-istilahnya
sendiri.
Skema Sumber-Sumber Pemikiran Isyraqi
Dalam bidang metafisika Suhrawardi merupakan orang pertama dalam sejarah yang
menegaskan perbedaan dua corak metafisika yang jelas, yaitu metafisika umum dan
metafisika khusus.
Metafisika umum mencakup pokok-pokok pembahasan yang baku
tentang
keberadaan atau kewujudan (eksistensi),
kesatuan,
subtansi (jauhar),
eksiden,
waktu,
ruang dan
gerak.
Adapun yang termasuk dalam metafisika khusus
ialah: pendekan ilmiah baru untuk menelaah masalah supra rasional (adinalar),
seperti
kewujudan Tuhan dan pengetahuan (al-‘Ilm),
mimpi sungguhan,
pengalaman
pencerahan, t
indakan khalqiyyah kreatif yang tercerahkan,
imajinasi ahli
makrifat,
bukti yang nyata,
dan kewujudan obyektif, ‘alam al-khyal (alam
khayal) atau ‘alam al-misal (alam misal).
Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang
metafisika yang menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam
pengantar al-Talihat, Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia
berpendirian bahwa “tidak benar partikular merupakan tambahan bagi esensinya”,
karena esensi dapat dipikirkan terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat
dipikirkan secara langsung, tanpa mengetahui apakah ia ada atau tidak pada
entitas partikular yang manapun. Karena itu, wujud dan esensi itu sama
(identik).
Dalam kerangka filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat
dipisahkan dari sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material
dan juga tidak dapat didefenisikan.
Sebagai realitas yang meliputi segala
sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik
maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya. Sifat cahaya
telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan
kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan
kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala
Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang
diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya”
disamakan dengan “Tuhan”.
Bagi Suhrawardi realitas dibagi atas tipe cahaya dan kegelapan. Realitas
terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Keseluruhan alam adalah
tingkatan-tingkatan penyinaran dan tumpahan Cahaya Pertama yang bersinar
dimana-mana, sementara ia tetap tidak bergerak dan sama tiap waktu. Sebagaimana
term yang digunakan oleh Suhrawardi, cahaya yang ditompang oleh dirinya sendiri
disebut nur al-mujarrad. Jika cahaya bergantung pada sesuatu yang lain disebut
nur al-‘ardi.
Cahaya pertama dalam hal ini cahaya terdekat (nur al-aqrab) berasal dari cahaya
segala cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahsul). Cahaya pertama
memiliki karakter: pertama, ada sebagai cahaya abstrak. Kedua, mempunyai gerak
ganda; ia mencintai (yuhibbu) dan “melihat” (yushhidu) cahaya segala cahaya
yang ada di atasnya, dan mengendalikannya (yaqharu) serta menyinari (ashraqa)
apa yang ada dibawahnya. Ketiga, mempunyai “sandaran” dan sandaran ini
mengimplikasikan sesuatu “zat” disebut barzakh yang mempunyai kondisi (hay’ah).
Zan dan kondisi bersama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. Keempat,
mempunyai semisal “kualitas” atau sifat; ia “kaya” (ghani) dalam hubungannya
dengan cahaya yang lebih rendah. Dan “miskin” dalam hubungannya dengan Cahaya
segala Cahaya.
Ketika cahaya pertama diperoleh, ia mempunyai langsung terhadap Cahaya segala
Cahaya tanpa durasi atau “momen” yang lain. Cahaya segala Cahaya seketika itu
juga menyinarinya dan begitu juga “menyalakan” zat dan kondisi yang dihubungkan
dengan cahaya yang pertama. Cahaya yang berada pada cahaya abstrak pertama
adalah “cahaya yang menyinari” (nur al-sanih) dan paling reptif (menerima)
diantara semua cahaya. Proses ini terus berlanjut, dan cahaya kedua menerima
dua cahaya, yang satu berasal dari Cahaya segala Cahaya langsung, yang lain
dari cahaya pertama. Cahaya pertama telah menerimanya dari Cahaya segala Cahaya
dan berjalan langsung karena ia bersifat tembus cahaya.
Hal yang sama terjadi; cahaya abstrak ketiga menerima empat cahaya; satu
langsung dari Cahaya segala Cahaya, satu lagi dari cahaya pertama, dan yang
lainnya dari cahaya kedua. Proses ini berlanjut terus, dan cahaya abstrak
keempat menerima delapan cahaya; cahaya abstrak kelima menerima enam belas
cahaya dan seterusnya. Mengenai cahaya yang berlipat ganda ini, esensi
masing-masing cahaya, yaitu kesadaran diri, sebagian adalah “cahaya-cahaya
pengendali” (al-anwar al-qahirah) dan sebagian lainnya adalah cahaya-cahaya
pengatur (al-anwar al-mudabbirah).
Hirarki Cahaya Menurut Suhrawardi
Manusia mempunyai kemampuan untuk menerima cahaya peringkat tertinggi lebih
sempurna dibandingkan binatang dan tumbuhan.
Manusia adalah alam sagir (mikro
kosmos) yang di dalam dirinya mengandung citra alam yang sempurna dan tubuhnya
membuka pintu bagi semua kejismian.
Tubuh ini selanjutnya merupakan sarana
bagi cahaya yang bersinar di atas semua unsur tubuh dan menyinari daya khayal
(imajinasi) dan ingatan.
Cahaya ini dihubungkan dengan tubuh oleh jiwa hewani,
yang bertempat di jantung, dan meninggalkan badan pergi ke tempatnya yang asal,
yaitu alam malakut (kerajaan besar, kekuasaan), apabila badan telah hancur dan
kembali kepada unsur-unsur jasmaninya.
Kemudian muncul pertanyaan bagaimana
manusia dapat memiliki kehendak.
Menurut Suhrawardi, yang mendorong manusia
berkehendak ialah cinta. Kalau kehendak terlalu menguasai jiwa maka timbullah
amarah.
Secara umum filsafat iluminasi yang diwakili oleh Suhrawardi dalam
metafisikanya selalu disimbolkan dengan “cahaya”.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu Dalam bidang
metafisika Suhrawardi merupakan orang pertama dalam sejarah yang menegaskan
perbedaan dua corak metafisika yang kelas, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang
metafisika yang menonjol adalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Filsafat
Suhrawardi merupakan titik balik sejarah filsafat Islam, yaitu sebagai suatu
upaya sangat serius dalam mendekatkan mistisisme dengan filsafat rasional.
Metodologi yang dibangunnya mendamaikan nalar diskursif dan intuisi intelektual
yang dikemudian hari menjadi landasan filsafat Islam.